Suatu ketika, diwaktu yang lalu, saya memutuskan untuk mencukur rambut menjadi sangat pendek. Bahkan, bisa dibilang mendekati kata botak. Tukang cukur heran. Dan memastikan pilihan yang sebelumnya sudah kuputuskan sebelum saya sampai ditempatnya.
"Iye seriuski" Tanyanya kepada saya dalam logat bahasa Makassar meski saya tahu tukang cukur itu tidak cukup pintar memakai logat Makassar. Mendapat pertanyaan itu, saya tertawa.Â
"Seriuslah, masa saya bercanda. Saya ini bukanlah komedian Mas" kataku. Kupikir apa yang disampaikan oleh tukang cukur itu adalah sebuah spontanitas. Bisa juga, menandakan bahwa hari itu, saya orang pertama minta cukur botak.
Kupikir hal ini, hanya Tuhan dan tukang cukurnya yang tahu. hahaha. Sepulang dari potong rambut. Orang di rumah juga ternyata sama. Mereka heran saya memotong rambut terlalu pendek. Berbeda dari tukang cukur, barangkali orang rumah berpandangan saya agak aneh karena lama tidak berambut pendek.
Skeptis terhadap pilihan saya rupanya belum berhenti. Seorang teman juga mengatakan hal yang sama. Bahkan lebih sedikit ekstrim dengan mengatakan saya mungkin sedang sakit. Baiklah. Saya sih tidak ada masalah dengan hal itu. Semua orang berhak atas opininya masing-masing. Sebab masing-masing itu asing yang terasing.
Dari rentetan kejadian itu, saya menjadi tahu betapa sulitnya memilih keputusan yang berbeda. Mesti siap dengan justifikasi sepihak dari orang lain. Malah itu sudah seperti menjadi hak paten bagi tiap orang untuk menilai sepintas tanpa pernah memikirkan dibaliknya. Lebih mudah memang menjadi komentator daripada memainkan bola.
Tapi biarlah. Mereka adalah manusia merdeka. Saya yang memilih keputusan saya sendiri tentu tahu lebih banyak dari yang mereka tahu. Bukankah itu yang menjadi poinnya. Tidak perduli atas sikap skeptis atau bahkan sikap yang sudah mengarah pada kesimpulan sepihak. Itu hak orang diluar dari diri saya. Kupikir sah-saha saja.
Bukankah jika mereka merdeka maka aku pun demikian, bukan. Kan itu adalah simpulan sederhananya. Aku tak akan berlari hanya karena secuil duri. Bahwa itu adalah hak, itu sudah menjadi milikmu. Yang salah ketika hak saya kau rampas sedang kewajiban terhadap saya hanya berujung ampas kopi yang sudah beberapa kali kau seduh.
Disisi lain, fenomena ini juga mirip dengan keputusan saya ketika menggunakan #akumencintaimu. Jujur saja, beberapa orang malah mengatakan jika saya tidaklah normal. Katanya saya mencintai manusia yang berjenis kelamin sama dengan saya. Dan ini tidak hanya satu orang saja yang mengatakan. Tapi lebih dari yang saya perkirakan.
Saya tidak habis pikir. Bahwa cinta itu seperti sesuatu yang sangat kerdil oleh mereka. Menganggap bahwa cinta hanya perlu disampaikan kepada lawan jenis adalah sebuah penghinaan, terhadap cinta itu sendiri. Kenapa? yah karena tentu diksi itu lahir dari pengetahuan yang amat sempit dan sembrono.
Jika kepada lawan jenislah cinta itu dipersembahkan, lalu bagaimana saya sebagai laki-laki mencintai ayah saya yang laki-laki, saudara laki-laki saya, kakek saya, paman saya, teman laki-laki saya? Atau bagaimana dengan mencintai Tuhan yang tidak diketahui jenis kelaminnya. Untuk itu janganlah terlalu mengkerdilkan hal yang tidak berdasarkan pengetahuan yang matang.