Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tersesat

9 Juni 2018   01:21 Diperbarui: 9 Juni 2018   02:04 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sepanjang sejarah peradaban manusia. Entah siapa pun kamu, dan apa pun jabatan yang sedang kamu emban, serta setinggi apa pun derajat kehidupan kamu. Kamu tetaplah manusia yang pernah dilahirkan. Jika kamu mengingkari itu, maka tentu saja kamu mengingkari kehidupanmu. Saya, kamu, anda, dia, dan mereka semua sama. Lalu apakah kamu ingin mengkerdilkan keadaan dan kenyataan itu? 

Sedang kamu tidaklah beda. Tapi banyak juga yang demikian. Kamu  tentu tahu siapa saja yang saya maksud. Yah siapa lagi jika bukan mereka yang katanya sudah memiliki segalanya hingga mau berbuat seenaknya dan semaunya. Dia berlagak seperti Tuhan yang mengatur segalanya. Memandang dirinya memiliki kasta terbaik dari yang lainnya. Menjadikan nafsu sebagai peradangan kekuasaan, menuju kepuasaan sesaat tanpa tandingan. Menguliti cinta yang sebenarnya, kemudian menggantinya dengan rupa kebencian untuk menjadikan semesta yang tunduk padanya.

Aku bersyukur kepada Tuhan karena telah dilahirkan dan dihidupkan. Teriakan atas kekejaman yang akan kulalui kusampaikan dalam nada cinta pertama yang kukeluarkan lewat getaran jiwa. Menggema pada semesta, bertanda kehadiran buah cinta dari dua manusia atas representasi pelanjut generasi. Sama sekali belum tersentuh oleh goresan kebatilan, apalagi ujaran kebencian. 

Ia suci dan begitu murni untuk memulai jalan panjang menuju penantian. Dijalankanlah prosesi permulaan untuk memulai kehidupan. Dua ekor hewan dikorbankan sebagai bentuk kesyukuran kepada Tuhan. Perkenalan tentang panggilan oleh sesama sebagai bentuk sosialisasi diri dikehidupan hingga menjadi simbol dalam ketiadaan.

Waktu berputar sepenuhnya. Tumbuh kembang pun jadi keharusan semesta. Indra pemberian pelan dan pasti berfungsi juga sebagaimana mestinya. Mendengar dengan telinga, melihat dengan mata, merasakan dengan lidah, mencium dengan hidung, dan menyentuh dengan kulit serta keseimbangan dengan hati dan pikiran. Kesemuanya padu menjadi manusia sempurna seutuhnya, menjadi pembeda dengan mahluk lainnya. Juga akan menyandang derajat tertinggi dan terendah dari sekian ciptaan Tuhan lainnya.

 Ingat kamu dilahirkan bukan untuk disamakan tapi untuk dibedakan. Maka dari itu cinta ditumbuhkan dalam bilik sanubari jiwa dan ruang-ruang logika. Jika saja kamu dilahirkan dalam bentuk, rupa dan sifat yang sama, sudah tentu kamu bukanlah yang ditunjuk sebagai pemeran utama. Sebab kemuliaan bukan karena persamaan, tapi kemuliaan lahir dari perbedaan untuk memandang kebersamaan.

Lalu masihkah kita ingin menuntut pertanyaan kenapa ada perbedaan? Kenapa ada oposisi dan koalisi? Kenpada ada hitam ada putih? Kenapa ada agama islam, kristen, hindu, budha, dan konghucu? Kenapa ada suku bugis, makassar, mandar dan toraja? Kenapa ada yang memilih calon di Pilkada nomor urut 1, 2, 3, dan 4? Kenapa ada benci dan cinta? Kenapa ada siang dan malam? Kenapa ada kritikan dan pembelaan? Jika kita semua mempertanyakan itu tapi tidak ingin memahaminya, maka sudah pasti kita adalah manusia yang  paling bodoh. 

Dan yang paling bodoh adalah melakukan pembodohan dan membenarkannya. Musuh yang paling nyata adalah diri kita sendiri. Sehingga ketika menjumpai manusia-manusia sombong dan angkuh yang berlagak seperti Tuhan. Maka dirinya adalah dirinya yang tidak dikenali oleh dirinya sendiri. Sama seperti hewan dialam bebas dipadang safana, hutam rimba, dan lautan. Tak mengenal cinta kasih tapi yang ada tak pilih kasih.

Lalu, untuk apa kita terus-terusan mencari sedang yang dicari sedang bersama diri. Itu karena kita disuruh untuk berusaha dan bekerja berdasarkan nalar pikir dan nurani rasa. Betapa jengkelnya kita, ketika sudah memberi sepiring nasi, lengkap lauk pauknya, dan air minum tapi kemudian diminta untuk disuapin sedang dirinya normal tanpa kekurangan apapun. 

Kita jangan mencari karena sedang tersesat oleh kesempurnaan. Cipta kesempurnaan kepada diri kita bukanlah kesempurnaan hakiki melainkan kesempurnaan untuk mengecilkan diri dihadapan ilahi. Berdamai dengan diri sendiri adalah jalan meretas kesesatan kesempurnaan diri. Berdamai dengan diri sendiri adalah jalan menuju kecerdasan nalar pikir dan nurani rasa.

 Berdamai dengan diri sendiri juga merubah kebencian menjadi cinta kasih. Jangan biarkan diri menjadi manusia yang congkak hanya karena materi. Pun jangan biarkan diri menjadi angkuh sebab jabatan masih kukuh. Salam cinta. Aku mencintaimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun