Negara ini adalah negara demokrasi. Sudah tentu semua orang tahu dan paham akan hal ini. Dimana dalam negara demokrasi akan mengenal tiga trias politika. Kupikir banyak teori tentang hal ini. Seperti John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755), dan lain-lain.
Namun hal terpenting dalam trias politika adalah keterbukaan. Dan hal ini sangat mungkin dilakukan lembaga pers. Hal ini pun pernah diungkapkan oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Ia menilai jika DPR sebagai representasi rakyat telah merusak kepercayaan masyarakat
Menurutnya, hal ini dapat dibuktikan dengan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Hasil survei nasional Poltracking Indonesia tahun 2017 menempatkan DPR pada posisi paling buncit terkait tingkat kepuasan masyarakat yakni 34 persen.
Untuk itu, kata Mahfud, persoalan yang tidak sehat itu harus diluruskan. Dan, kata dia, hanya pers yang mampu berbuat itu. "Pers menjadi satu-satunya harapan bangsa. Karena pers sudah banyak memberikan kontribusi. Inilah yang harus dipikirkan dalam membangun masyarakat berbangsa dan bernegara," kata Mahfud pada Liputan 6 2012 lalu.
Dalam pasal 2 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa "Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum". Kupikir ini sangat jelas arah dan maksudnya.
Oleh karena tidak salah jika ada berbagai kalangan malah menempatkan pers sebagai pilar keempat dalam negara yang menganut sistem demokrasi seperti di Indonesia. Dalam beberapa diskusi dengan beberapa teman jurnalis di Makassar menyebutkan bahwa jurnalis itu membawa empat misi.
Pertama misi sebagai syiar kenabian. Ini agak bahasanya cukup tidak layak. Akan tetapi, dalam arti yang luas bahwa jurnalis adalah seorang yang berjuang untuk membawa perubahan dari tidak tahu menjadi tahu. Kedua, sebagai seorang orang yang terpelajar sebab menjadikan semua orang adalah guru tanpa memandang status sosial.
Ketiga adalah sebagai bentuk hiburan. Dalam hal ini bukanlah hiburan seperti yang mampu dilakukan seorang komedian. Tapi ini kepada bagaiman membawa orang untuk berempati kepada orang lain. Dan keempat adalah sebagai kontrol sosial. Kupikir sudah pasti dan sangat jelas bagi lembaga pers.
Oleh karena itu, jika terjadi kesalahan dalam pemberitaan maka sudah selayaknya dilakukan protes dan kritikan sesuai dengan prosedural yang ada. Jangan karena desakan semua proses menjadi ternistakan. Jangan karena kegagalan komunikasi semua menjadi kalut hingga banting silaturahmi
Untuk itu, saya ingin mengatakan apa yang terjadi pada redaksi Radar Bogor adalah tindakan yang tidak prosedural. Sebab tentu saja, setiap redaksi media pers memberikan ruang yang sama terhadap masyarakat atau siapa pun yang merasa tidak membenarkan pemberitaan. Kupikir dalam ini bisa dilakukan dengan cara-cara terhormat.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan hak jawab. Kupikir ini lebih elegan dibandingkan dengan melakukan tindakan tak rasional secara logika pikir dan nurani rasa tanpa pemberitahuan. Apalagi dengan melakukan cacian makian secara verbal dalam keadaan normal dan sadar.
Dalam pasal 5 ayat 2 Undang Undang Pers disebutkan bahwa "Pers wajib melayani Hak Jawab". Untuk itu, jika ada masyarakat atau pejabat atau siapapun yang merasa keberatan dengan pemberitaan maka jalan yang bisa dilakukan adalah dengan meminta klarifikasi melalui hak jawab.
Bukan dengan membawa massa. Seperti menjadikan sistem dominan sebagai sebuah pembenaran hingga menjadi ladang kemunafikan. Membawa massa boleh-boleh saja, sebab tentu akan sangat mudah menemukan solusi cerdas ketika banyak orang untuk berpikir solutif tapi bukan untuk bertindak antraktif
Kupikir sikap dan tindakan dengan mengedepankan emosional tanpa rasional adalah hal yang paling mengkerdilkan diri sendiri dan orang lain. Marah boleh sebab itu manusiawi tapi jangan lupakan nalar pikir. Malu boleh sebab itu juga manusiawi tapi jangan lupa refleksi pada diri sendiri.
Sehingga hal-hal demikian sudah semestinya dihindari oleh semua pihak. Sebab dalam kurung tahun 2018 ini saja, telah terjadi dua kali penggerudukan terhadap media pers. Yang pertama tentu saja yang dilakukan pada kantor berita Tempo, beberapa waktu silam
Semua mesti menahan diri agar tidak dikuasai oleh amarah tanpa nurani. Dan kupikir semua media pers juga mesti refleksi diri atas rentetan dua kejadian ini yang terjadi. Oleh karena secara keseluruhan mesti merefleksi diri tentang bagaimana seharusnya bersuara dengan sepantasnya berdasarkan kaidah dan prosedural hukum yang berlaku.
Sebab jika tidak, mau kemana lagi kita akan meminta bala bantuan sedang demokrasi dalam balutan ketakutan sekarang-sekarang ini. Apa rela kita akan menjadi negara demokrasi yang tanpa pemenuhan hak publikasi?. Atau apa rela kita menjadi negara demokrasi yang segalanya dilakukan tanpa mengedepankan hak asasi?.
Jawaban atas dua pertanyaan ini semua ada dalam diri kita masing-masing. Silahkan dicerna secara baik tanpa memandang siapa diri kita. Sebab negara sedang butuh orang-orang yang memikirkan seluruh rakyat bukan malah mengkerdilkan dan atau malah mengucilkan rakyat. Negara juga sedang butuh orang-orang yang terdidik secara literasi untuk mencerdaskan generasi. Terima Kasih. #AKUMENCINTAIMU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H