Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Egoisme Pilkada Bernama "Kotak Kosong"

24 April 2018   22:46 Diperbarui: 25 April 2018   13:21 3300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: rakyatsulsel.com

Sejak dimulainya era baru dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilaksanakan secara serentak membuat munculnya sebuah fenomena baru. Dalam catatan saya, fenomena yang pertama adalah persentase kekalahan pasangan calon incumbent cukup besar.

Sebagai contoh pada Pilkada serentak jilid pertama di Sulsel yang diikuti oleh 11 kabupaten/kota, 5 kabupaten/kota yang diikuti incumbent justru kalah. Belum lagi Pilkada Takalar yang dilaksanakan tahun 2017 lalu, itu menambah catatan jumlah incumbent yang kalah.

Dan fenomena yang kedua adalah kotak kosong alias calon tunggal di Pilkada. Khusus di Sulsel dalam Pilkada 2018 ini, telah ada dua daerah dimana incumbent akan melawan kotak kosong yakni Pilkada Bone dan Pilkada Enrekang. Dan terbaru yang kemungkinan besar akan melawan kotak kosong adalah Pilkada Makassar.

Melawan kotak kosong di Pilkada memang tidak salah dan inkonstitusional. Meski memang dalam Undang-Undang (UU) nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada calon tunggal belum terakomodir, akan tetapi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian membenarkan jika Pilkada bisa diikuti oleh satu pasangan calon

Hal ini kemudian UU nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada dilakukan perombakan yang tertuang dalam UU nomor 10 tahun 2016 dengan memasukkan yang mengatur mengenai calon tunggal. Ini sangat jelas dalam pasal  Pasal 54C ayat (1) yang terdiri atas 5 poin.

Akan tetapi memang, sekilas Pilkada yang diikuti oleh satu pasangan calon saja alias melawan kotak kosong itu adalah sikap yang egois. Jika alasan melawan kotak kosong di Pilkada itu karena calon incumbent memborong partai politik, maka itu secara tidak langsung tidak memberikan kesempatan kepada putra dan putri daerah untuk bertarung.

Wajar memang jika kekuasaan itu dipertahankan. Kupikir hal ini adalah hal yang lumrah saja. Akan tetapi, jika menghalangi atau mencekal niat seseorang untuk maju dan bertarung di Pilkada itu adalah hal yang sangat tidak bisa dibanggakan.

Jika ditelisik dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dalam pasal 23 ayat (1) "Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya". Lebih lanjut, dalam pasal 43 ayat (1) "Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan".

Kedua ketentuan pasal di atas sangat jelas menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga negara Indonesia untuk melaksanakan hak memilihnya. Sehingga bagi saya tidak elegan ketika melakukan pencekalan terhadap putra-putri terbaik untuk bertarung di Pilkada.

Memborong partai politik sebagai partai pengusung di Pilkada tentu tidak salah secara aturan. Apalagi, kupikir setiap partai politik memiliki cita-cita yang sama yakni memenangkan Pilkada. Sehingga wajar ketika mengusung incumbent dengan tingkat keterpilihan yang sangat tinggi seperti di Pilkada Bone dan Enrekang.

Akan tetapi, saya ingin bertanya kepada partai politik. Apakah dengan mengusung satu calon saja di Pilkada itu tidak aneh? Jika incumbent menang dan melenggang untuk periode keduanya, maka seluruh partai politik yang telah mengusung itu menang dari sisi apa.

Secara logika, ketika ada yang menang maka sudah mesti ada yang kalah. Oke, kita anggap yang kalah itu adalah kotak kosong. Maka pertanyaan selanjutnya adalah siapa sih itu kotak kosong? Apakah kotak kosong itu rakyat? Apakah kotak kosong itu calon yang gagal maju? Atau kotak kosong itu adalah buah keegoisan kekuasaan?

Tentu jawaban-jawaban yang kita temukan ketika itu diarahkan kepada diri kita semua akan berbeda-beda. Dan jawaban saya adalah itu buah dari keegoisan kekuasaan. Kupikir ini adalah kalimat yang ingin disampaikan oleh almarhum Gusdur "Tak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian."

Khusus untuk Pilkada Makassar, memang sampai saat penulisan essay ini belum dipastikan pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatikan Dewi (Appi-Cicu) akan melawan kotak kosong. Akan tetapi, dalam hal ini kita sepakati saja akan melawan kotak kosong.

Maka tentu, sangat berbeda kondisinya dengan Pilkada Bone dan Enrekang. Karena proses Appi-Cicu melawan kotak kosong berbeda. Perbedaan yang mencolok adalah Pilkada Makassar penantang yang memborong partai politik sedangkan incumbent maju melalui perseorangan. Meski masih ada partai yang konsisten memberikan dukungan.

Akan tetapi, prosesnya hampir mirip bedanya hanya terbalik. Oleh karena itu, kalimat yang pas untuk menggambarkan Pilkada Bone dan Enrekang adalah "keegoisan mempertahankan kekuasaan" sedang untuk Pilkada Makassar adalah "keegoisan untuk berkuasa".

Kupikir masih ada sejumlah perbedaan-perbedaan yang lain. Seperti berperkara pada penyelenggara Pilkada yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), kemudian masuk ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), hingga masuk dalam ranah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) dan terakhir Mahkamah Agung (MA).

Rentetan kejadian-kejadian itu bisa jadi kita akan berbeda dalam memberikan penafsiran. Akan tetapi bukan berarti itu akan membuat kita terpisah-terpisah atau bahkan terpecah-belah. Mari kita bersama melihat ini secara kejernihan nurani mulai dari sisi hukum dan logika berpikir yang tidak saling menyesatkan.

Bagi saya ada beberapa hal yang mesti menjadi perhatian. Pertama, mengenai keputusan KPU dan Panwaslu Kota Makassar yang memenangkan pasangan Danny Pomanto-Indira Mulyasari (DIAmi). Kedua, mengenai perkara yang diajukan ke PT TUN. Ketiga, keputusan dalam memenangkan gugatan Appi-Cicu di PT TUN.

Jika mengacu pada apa yang masuk dalam perkarakan di PT TUN yakni mengenai pembagian Handphone (HP) kepada Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) dan tagline DIAmi yakni dua kali tambah baik. Maka tidak boleh melupakan apa yang menjadi kesepakatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Makassar yang telah disepakati oleh DPRD dan Pemerintah Kota (Pemkot).

Adapun untuk hal mutasi, kupikir itu jelas aturannya. Oleh karena itu, saya ingin mengatakan bahwa jangan kita saling menyesatkan baik itu secara nalar hukum maupun nalar berpikir dalam proses demokrasi ini. Semua mesti terbuka dan membahas hal ini secara baik dan benar berdasarkan aturan dalam konstitusi yang ada.

Masa depan dan kemajuan Makassar ada ditangan kita semua. Jangan karena bisikan nafsu kekuasaan semua menjadi kalut dan buta. SAYA, DIA, KITA memiliki tujuan yang sama menuju Makassar menjunjung tinggi adat Sipakatau, Sipakainga, dan Sipakalebbi. #akumencintaimu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun