Secara logika, ketika ada yang menang maka sudah mesti ada yang kalah. Oke, kita anggap yang kalah itu adalah kotak kosong. Maka pertanyaan selanjutnya adalah siapa sih itu kotak kosong? Apakah kotak kosong itu rakyat? Apakah kotak kosong itu calon yang gagal maju? Atau kotak kosong itu adalah buah keegoisan kekuasaan?
Tentu jawaban-jawaban yang kita temukan ketika itu diarahkan kepada diri kita semua akan berbeda-beda. Dan jawaban saya adalah itu buah dari keegoisan kekuasaan. Kupikir ini adalah kalimat yang ingin disampaikan oleh almarhum Gusdur "Tak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian."
Khusus untuk Pilkada Makassar, memang sampai saat penulisan essay ini belum dipastikan pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatikan Dewi (Appi-Cicu) akan melawan kotak kosong. Akan tetapi, dalam hal ini kita sepakati saja akan melawan kotak kosong.
Maka tentu, sangat berbeda kondisinya dengan Pilkada Bone dan Enrekang. Karena proses Appi-Cicu melawan kotak kosong berbeda. Perbedaan yang mencolok adalah Pilkada Makassar penantang yang memborong partai politik sedangkan incumbent maju melalui perseorangan. Meski masih ada partai yang konsisten memberikan dukungan.
Akan tetapi, prosesnya hampir mirip bedanya hanya terbalik. Oleh karena itu, kalimat yang pas untuk menggambarkan Pilkada Bone dan Enrekang adalah "keegoisan mempertahankan kekuasaan" sedang untuk Pilkada Makassar adalah "keegoisan untuk berkuasa".
Kupikir masih ada sejumlah perbedaan-perbedaan yang lain. Seperti berperkara pada penyelenggara Pilkada yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), kemudian masuk ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), hingga masuk dalam ranah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) dan terakhir Mahkamah Agung (MA).
Rentetan kejadian-kejadian itu bisa jadi kita akan berbeda dalam memberikan penafsiran. Akan tetapi bukan berarti itu akan membuat kita terpisah-terpisah atau bahkan terpecah-belah. Mari kita bersama melihat ini secara kejernihan nurani mulai dari sisi hukum dan logika berpikir yang tidak saling menyesatkan.
Bagi saya ada beberapa hal yang mesti menjadi perhatian. Pertama, mengenai keputusan KPU dan Panwaslu Kota Makassar yang memenangkan pasangan Danny Pomanto-Indira Mulyasari (DIAmi). Kedua, mengenai perkara yang diajukan ke PT TUN. Ketiga, keputusan dalam memenangkan gugatan Appi-Cicu di PT TUN.
Jika mengacu pada apa yang masuk dalam perkarakan di PT TUN yakni mengenai pembagian Handphone (HP) kepada Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) dan tagline DIAmi yakni dua kali tambah baik. Maka tidak boleh melupakan apa yang menjadi kesepakatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Makassar yang telah disepakati oleh DPRD dan Pemerintah Kota (Pemkot).
Adapun untuk hal mutasi, kupikir itu jelas aturannya. Oleh karena itu, saya ingin mengatakan bahwa jangan kita saling menyesatkan baik itu secara nalar hukum maupun nalar berpikir dalam proses demokrasi ini. Semua mesti terbuka dan membahas hal ini secara baik dan benar berdasarkan aturan dalam konstitusi yang ada.
Masa depan dan kemajuan Makassar ada ditangan kita semua. Jangan karena bisikan nafsu kekuasaan semua menjadi kalut dan buta. SAYA, DIA, KITA memiliki tujuan yang sama menuju Makassar menjunjung tinggi adat Sipakatau, Sipakainga, dan Sipakalebbi. #akumencintaimu