Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta Fiksi Versus Cinta Realitas

18 April 2018   00:35 Diperbarui: 18 April 2018   01:10 1727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selepas pulang kantor, seperti biasa saya mencari tempat untuk hanya sekedar bercerita tentang apapun. Mulai dari yang fiksi hingga yang realitas.

Pada akhirnya Tuhan mengarahkan saya untuk bertemu dengan beberapa teman dalam sebuah acara Bazar dan Bincang Buku pada sebuah cafe di daerah Mapala, Makassar.

Singkat cerita, acara dimulai dan pada akhirnya ditutup dengan pembacaan puisi. Yang menarik, teman yang saya ajak bertemu ikut ambil bagian dalam sesi baca puisi.

Seusai membaca puisi yang temanya sedikit berat karena bercerita tentang cinta. Saya berkelakar, dengan tertawa sambil memberikan aplaus kepada teman seusai tampil.

Saya kemudian melakukan manuver kecil untuk mengajak teman untuk berdiskusi tentang cinta. Terus terang saya suka diskusi tentang tema cinta. Karena sudah tentu akan panjang dan kemungkinan tidak ada habisnya. Hahaha

Tibalah ketika saya bertanya. Bahwa untuk apa Anda memiliki pasangan (pacar) sedangkan arah dan tujuan tidaklah jelas. Apakah itu tidak buang-buang waktu. Bukankah lebih baik tidak ada pasangan tapi memiliki arah dan tujuan yang jelas.

Semua menjadi ribut. Saya tertawa terbahak menikmati perdebatan-perdebatan kusir itu. Beberapa teman memberikan argumentasi dengan nada yang cukup tinggi dan serius. Saya pun semakin larut dan menikmati diskusi itu.

Pada akhirnya, saya yang kemudian disudutkan. Sebab saya dituding beretorika sedemikian rupa untuk menutupi bahwa saya tidak punya pasangan. "Main keroyokan kah" kataku. Hahaha.

Bahwa saya mengakui tidak memiliki pasangan. Pertama, karena saya ingin beralasan dengan cukup simpel saja. Saya lebih suka ditolak ketika menyatakan cinta kepada seorang perempuan daripada saya langsung diterima.

Jujur saja, ini adalah kalimat pembenaran atas pilihan saya. Akan tetapi, saya ingin mengatakan kepada teman bahwa saya lebih suka menonton pertandingan sepakbola dari klub kesukaan saya ketika dibobol diawal. Kemudian mampu mendramatisasi kemenangan diakhir laga dengan skor tipis.

Kupikir, proses itu begitu nikmat. Jika dibandingkan ketika klub andalan saya itu langsung menang yang kemudian berujung pembantaian dengan skor yang sangat mencolok. Tidak ada aliran darah yang membuat kita tegang dan "dumba-dumba" (deg degan). Hahaha

Oleh karena itu, saya lebih suka ditolak oleh perempuan. Akan tetapi kemudian, saya bekerja dan berkarya. Yang pada akhirnya membuat perempuan itu menyesal telah menolak saya dengan melihat karya saya.

Saya sering menyebut ini sebagai pembuktian kepada diri sendiri untuk tidak mudah menyalahkan orang lain. Ini lebih kepada refleksi untuk melihat diri sendiri tentang, siapa saya? Jika ini terjawab, maka saya akan memproses jawaban itu untuk berdamai dengan diri saya sendiri.

Kedua, karena saya tidak ingin terjebak dalam fiksi cinta. Kenapa saya bertanya, diawal bahwa "untuk apa Anda memiliki pasangan (pacar) sedangkan arah dan tujuan tidaklah jelas". Jawaban dari pertanyaan ini adalah fiksi bukan realitas.

Yang realitas bagi saya adalah seberapa sering teman-teman mengatakan terima kasih kepada Ibu dan Bapak. Seberapa sering teman-teman mengatakan cinta kepada Ibu dan Bapak. Atau seberapa sering teman-teman peluk Ibu dan Bapak. Atau bahkan, seberapa sering teman-teman membuat tertawa bahagia orang lain disekitar Anda?

Ada yang bisa jawab? Ketika teman-teman menjawab pertanyaan ini, kuucapkan selamat datang dalam dunia cinta yang sebenarnya. Kupikir cinta yang sedang teman-teman bangun bersama pasangan ta itu masih fiksi meski itu tidaklah salah.

Kupikir sudah banyak contoh yang bisa dilihat. Mulai dari kisah Risna yang menangis dipelukan Rais hingga yang terbaru mengenai lagu Balo Lipa'. Jangan sampai teman-teman akan menjadi lakon cinta fiksi selanjutnya. Hahahaha.

Simpulan saya, tidak pernah sekali pun saya menyalahkan orang punya pasangan. Asalkan dengan catatan-catatan, dan kesepakatan-kesepakatan. Jangan menjadi manusia yang terlalu sibuk mencintai yang fiksi, kemudian lupa mencintai realitas. Terima kasih. #akumencintaimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun