Semenjak munculnya Partai Demokrat dalam arena Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 lalu, nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kian meroket. Sebab memang, munculnya partai berlambang mercy itu merupakan salah satu bentuk persiapan SBY untuk maju dalam perebutan kursi kosong satu RI.
Ketika itu, SBY yang berpasangan dengan politisi asal Sulsel, Jusuf Kalla (JK) yang hanya diusung oleh tiga partai kecil yakni Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Demokrat mampu melenggang hingga putaran kedua.
Pada putaran kedua itu, SBY-JK masih tak terbendung ketika melawan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hasilnya, 69.266.350 jumlah suara sah atau sekitar 60,62% untuk memuluskan SBY-JK masuk Istana.
Kemenangan SBY-JK pun berimbas pada Partai Demokrat yang kian populer. Jika diawal kemunculan Demokrat, SBY-lah yang sangat diuntungkan. Maka ketika SBY terpilih menjadi Presiden RI, Demokratlah yang paling berimbas secara positif dalam kancah politik nasional.
Hal ini terbukti ketika Pemilihan Legislatif (Pileg) 2009, Partai Demokrat menjadi partai pemenangan dengan total pemilih 21.703.137 dengan persentase 20,40% dan jumlah kursi sebanyak 150 di DPR. Hasil ini tiga kali lebih banyak dari perolehan suara pada Pileg 2004 yakni 8.455.225 atau 7,45% dengan 57 kursi.
Kupikir simbiosis mutualisme inilah yang tidak bisa dilepas antara SBY dan Partai Demokrat hingga saat ini. Sebagai contoh, pada Pileg 2014 Partai Demokrat rontok. Jumlah kursi yang sebelumnya mencapai 150 turun drastis menjadi 61 kursi. Tak lebih baik ketika muncul pada Pileg 2004.
Dan itu terjadi ketika Partai Demokrat dan SBY tidak saling memperhatikan alias saling cuek yakni ketika tidak mendorong Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas dalam Kongres Partai Demokrat  2010. Ketika itu, muncul nama Anas Urbaningrum sebagai pemenang dengan mengalahkan Marzuki Alie dan Andi Malarangeng.
Apa yang terjadi? Ditangan Anas Urbaingrum, Partai Demokrat goyah dengan mulai diterpa gelombang korupsi yang sangat kuat. Mulai ketika Bendahara Umum Partai Demokrat  M. Nazaruddin dijadikan tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus pembangunan Wisma Atlet di Palembang.
Kemudian menyeret nama tenar diinternal Demokrat lainnya, antara lain Andi Malarangen yang tak lain adalah Menteri Pemuda dan Olahraga waktu itu, pun bernasib sama. Selanjutnya, ada nama Angelina Sondakh hingga Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum sendiri dijadikan tersangka oleh KPK diawal tahun 2013.
Untuk menyelematkan Partai Demokrat pasca Anas mundur, Majelis Tinggi Partai Demokrat menggelar rapat di Cikeas. Yang memutuskan memberikan mandat kepada Wakil Ketua Umum I Max Sopacua, Wakil Ketua Umum II Jhonny Alen Marbun, Sekretaris Jenderal Edhi Baskoro Yudhoyono, dan Direktur Eksekutif Toto Riyanto untuk menjalankan kegiatan kepartaian.
Salah satu agenda utama ditunjuknya empat kader terbaik Demokrat adalah melaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB) yang pada akhirnya dilaksanakan di Denpasar, Bali. Dalam KLB tersebut, SBY terpilih secara aklamasi dengan dukungan penuh dari Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) se-Indonesia.
Diawal kepemimpinannya, SBY masih kesulitan membawa Partai Demokrat kearah yang lebih baik. Berdasarkan survei Kompas, Partai Demokrat turun dari 11,1 persen akhir 2012 menjadi 10,1 persen pertengahan 2013. Lalu turun lagi menjadi 7,2 persen di akhir 2013. Bahkan, Survei Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) yang dirilis Maret 2014 elektabilitas Demokrat hanya 2,24 persen.
Pada Pilpres 2014, SBY sebagai pengendali partai menjadikan hal itu sebagai momentum untuk menarik perhatian masyarakat. Salah satunya adalah dengan menggelar konvensi calon presiden yang akan diusung pada Pilpres. Akan tetapi, hal itu dinilai oleh sejumlah kalangan belum bisa menaikkan citra Demokrat yang sudah terlanjur rontok.
Dahlan Iskan yang muncul sebagai pemenangan konvensi calon presiden Demokrat pada akhirnya harus gigit jari karena tidak diusung pada Pilpres. Pasalnya, Partai Demokrat tidak mampu mengusung calon di Pilpres tanpa berkoalisi dengan partai politik lain.
Tapi, SBY tidak kehabisan akal. Masih dalam momentum Pilpres 2014, secara mengejutkan partai pemenang Pileg 2009 itu menyatakan netral. Sikap yang ditunjukkan oleh Partai Demokrat tersebut memanglah tidak gentleman. Tapi secara psiko politik langkah tersebut cukup wajar.
Apalagi, bagi saya target utama Partai Demokrat adalah memperbaiki citra partai yang dalam beberapa tahun terakhir rontok akibat ulah internalnya sendiri yang terlibat berbagai kasus korupsi. Langkah ini bagi saya memang sedikit bejat, tapi secara logika sederhana sangat cerdas.
Kenapa demikian? Karena, jika Demokrat bergabung dengan partai pemerintah. Maka kebijakan yang dianggap tidak tepat atau negatif akan berdampak pada Demokrat secara tidak langsung. Begitu juga sebaliknya, jika Partai Demokrat terang-terangan berada pada oposisi, maka cukup mudah untuk diserang oleh lawan politiknya.
Sebagai bukti keberhasilan keputusan tersebut adalah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 lalu. Partai Demokrat dengan jeli memutuskan untuk tidak berada pada kubu PDIP sebagai partai penguasa maupun kubu Partai Gerindra dan PKS sebagai partai oposisi.
Hal itu pun menjadi ajang bagi Demokrat untuk memperkenalkan calon penerus SBY. Dia adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). SBY, Demokrat, dan seluruh kader tahu jika AHY tidak mampu mememangkan Pilkada DKI. Akan tetapi, inilah kejelian SBY untuk memunculkan nama AHY dalam kancah politik nasional, dan berhasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H