Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika Saja Yerusalem di Indonesia

11 Desember 2017   21:13 Diperbarui: 12 Desember 2017   10:12 1433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara penduduk muslim terbesar di dunia. Kedudukan ini tentu menjadi salah satu faktor penting bagi negara yang kita cintai bersama ini untuk disegani dalam politik islam seperti dalam Konvensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerjasama Islam (KTT OKI).

Tak hanya itu, gerakan dan manuver politik Indonesia yang bebas aktif dalam dunia internasional yang diprakarsai oleh Muhammad Hatta ketika mencapai kemerdekaan yang berdasarkan ideologi Pancasila dan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dinilai cukup efektif terutama dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Oleh karena itu, dengan keluarnya pernyataan kontroversial dari mulut Presiden Amerika, Donal Trump mengenai status Kota Yerussalem sebagai Kota Negara Israel tidak membuat pemerintah Indonesia diam. Karena, hal itu dinilai sebagai umpatan yang mengancam perdamaian dunia, terutama dalam tataran agama.

Sehingga tidak aneh jika Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) langsung mengecam pernyataan Donal Trump tersebut. Tak hanya mengecam, Presiden Jokowi berjanji mengutuk dan akan memberikan pernyataan keras dalam KTT OKI di Instanbul, Turki, Rabu 13 Desember mendatang.

Bahkan, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi langsung bereaksi dengan melakukan perjalanan ke Eropa untuk menemui Menteri Luar Negeri Uni Eropa. Menurut Retno, pertemuan dengan Uni Eropa tersebut dilakukan untuk meminta agar negara-negara Eropa tidak mendukung aksi Trump.

Tak hanya Presiden dan Menteri Luar Negeri saja yang melakukan protes terhadap Trump. Akan tetapi, sejumlah Organiasasi Kemasyarakatan (Ormas) melakukan aksi unjuk rasa menolak Trump sebab dinilai telah melanggar resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai status Kota Yerusalem.

Gelombang penolakan Trump juga merembes hingga daerah, termasuk di Makassar. Bahkan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Makassar melakukan aksi boikot dengan melakukan penutupan terhadap produk Amerika yang ada di Makassar seperti MC Donald yang ada di Jalan Alauddin, Senin (11/12).

=============

Ada fenomena yang menarik pada media sosial beberapa hari ini terkait dengan pernyataan Trump tersebut. Salah satunya adalah mengenai reaksi para pengkritik alumni 212. Para pengkritik aksi  212 menilai, mestinya para alumni tersebut turun melakukan aksi yang sama untuk melakukan pembelaan terhadap islam dan Palestina.

Masih dari para pengkritik aksi 212 di media sosial, seharusnya orang yang terjun dalam aksi yang dihadiri oleh jutaan orang dari berbagai daerah di Indonesia itu unjuk gigi saat ini. Karena hal itu, katanya, akan membuktikan bahwa aksi 212 tidak ada kontak politik didalamnya, alias cuci tangan.

Saya secara pribadi, menilai gelombang kritik tersebut wajar-wajar saja. Sebab sudah menjadi hal yang lumrah yang berbeda pandangan dan pilihan akan saling mengkritik. Yang tidak wajar bagi saya adalah melakukan provokasi hingga membuat kegaduhan dan konflik yang merugikan seluruh elemen rakyat.

Saya juga secara pribadi ingin mengatakan, meski saya bukanlah alumni 212 dalam aksi bela islam beberapa waktu lalu, akan tetapi konteks antara aksi 212 dan pernyataan Trump itu berbeda. Sehingga, bagi saya kurang tepat jika aksi 212 mesti disejajarkan dengan kasus Trump ini.

Meski memang secara kasat mata, aksi 212 dan aksi untuk menolak pernyataan Trump ada hubungannya. Ini juga tidak bisa dibantah, tapi perlu dikaji lebih detail untuk melihat kronologi dan kejelasannya. Bahwa aksi 212 dikatakan aksi bela islam, maka aksi menolak pernyataan Trump juga bisa jadi demikian.

Sebab kita tahu bersama, Kota Tua, Yerusalem sudah ribuan tahun diperebutkan oleh tiga agama yakni kristen, yahudi, dan islam. Sehingga, melakukan penolakan terhadap pernyataan Trump juga bisa dikatakan membela islam dan bangsa Palestina hingga menegakkan resolusi PBB mengenai status Kota Yerusalem.

Akan tetapi, bela islam dalam kedua kasus ini bagi saya cukup berbeda dalam konteks dasar kejadiannya. Jika aksi 212 di Jakarta lalu dikarenakan ceplosan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok mengenai surat Al Maidah, maka soal Trump ini soal pengakuan Ibu Kota Israel adalah Yerusalem.

Menurut sosiolog yang berasal dari Amerika Serikat yang bernama Charles Cooley, pengelompokan massa dibagi atas dua yakni keompok primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer adalah kelompok-kelompok yang ditandai dengan ciri-ciri saling mengenal antara anggota serta kerja sama yang erat yang bersifat pribadi.

Cooley pun memberikan contoh yang masuk dalam kelompok ini kelompok yang berisfat informal atau tidak resmi, akrab, personal, dan total yang mencakup berbagai aspek pengalaman hidup seseorang seperti keluarga, klan, atau sejumlah sahabat, hubungan sosial cenderung bersifat santai dan menyatakan harapan-harapan, dan kecemasan-kecemasan, berbagi pengalaman, mempergunjingkan gosip, dan saling memenuhi kebutuhan.

Sedangkan untuk kelompok sekunder, kata Cooley, adalah kelompok besar yang terdiri atas banyak orang, antara dengan siapa hubungannya tidak perlu berdasarkan pengenalan secara pribadi dan sifatnya juga tidak begitu langgeng serta didasarkan pada manfaat (utilitarian). Bahkan dijelaskan juga bahwa kualitas pribadi dalam kelompok ini tidak begitu penting.

Berdasarkan teori itu, saya ingin mengatakan bahwa aksi 212 itu adalah aksi yang terbentuk dari kelompok primer yang didasarkan pada aspek orang per orang, kelompok per kelompok dalam satu negara. Sedangkan pernyataan Trump tersebut menyangkut kelompok sekunder yang melibatkan orang per orang, kelompok per kelompok seluruh negara yang warga negaranya ada yang menganut agama islam, yahudi, dan kristen.

Andaikata Kota Yerusalem di Indonesia, tuntutan meminta rakyat turun untuk melakukan aksi yang dihadiri sebanyak 212 lalu itu bisa jadi itu saya akan benarkan. Tapi, kupikir, jika benar Yerusalem ada di Indonesia maka tidak perlu menuntut aksi sebesar 212, tapi saya yakin dan percaya orang yang akan turun dan terlibat dalam aksi akan lebih banyak dari dari 212.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun