Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Radikalisme, Justifikasi, atau Legitimasi?

4 November 2019   10:58 Diperbarui: 4 November 2019   11:16 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Sebuah cuitan di laman media sosial burung biru berhasil menyita perhatian . Kurang lebih, subjek yang dibawa adalah dimana sebuah keluhan saat negara dan (beberapa) Menteri yang baru getol menyuarakan isu radikalisme alih alih membahas bagaimana seharusnya rencana ekonomi kedepan. 

Apakah radikalisme menjadi satu pekerjaan rumah Indonesia yang tak kunjung habisnya sehingga secara langsung (masih) bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam negeri atau bahkan dirasa akan menghambat? 

Atau bahkan sampai aturan berbusana, bahwa bercadar menjadi satu perihal penting yang kudu penting banget jadi sebuah polemik yang membuat orang selevel Menteri Agama Fachrul Razi jadi sedikit gagap dengan mengatakan bahwa aturan menggunakan cadar tidak ada dasarnya baik di Al Quran dan Al Hadist. 

Bahkan lebih jauh lagi, beliau mengatakan bahwa aturan tersebut juga terkait dengan isu keamanan setelah peristiwa penusukan mantan MenkoPolkam Wiranto. 

Dua hal terkait diatas, bukan lagi menjadi justifikasi, lebih kepada teori pembenaran. Karena jelas,  ga perlu jadi selevel Beliau pun kita bisa sama sama belajar bahwa memang ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama dan juga mewakili Mazhab, tapi bukan berarti hal itu tidak ada. 

Yang kedua di teori pembenaran nya, di insiden Wiranto, yang terjadi adalah sesuatu yang aneh. Bahkan pelaku pun bisa berdiri lenggang disana, tidak bercadar, dan bahkan BIN sebelumnya telah mengatakan bahwa pelaku sudah masuk pemantauan selama 3 bulan sebelum terjadi insiden. 

Kalau ini kejadiannya, secara sinikal seharusnya Menag semestinya lebih waspada ke pihak BIN ketimbang ke para pemakai cadar atau isu radikalisme sendiri. 

Lha jare sudah dipantau ya masih dibiarkan gitu kok? 

Justifikasi dan legitimasi akan lebih elegan apabila sekedar mengembalikan pada tata tertib penggunaan seragam dikalangan PNS. Sesimpel itu, jangan dibuat ribet yang anda nanti kewalahan sendiri menjawabnya,  Pak Menteri .

Isu Radikalisme sendiri bukan lah tidak ada. Tapi akan semakin besar apabila hal seperti ini tidak bisa disikapi dengan baik.  Seperti melihat satu ketergesaan didalam menjawab pertanyaan sehingga malah sekenanya saja. 

Sekali dua kali mah lucu. Diterusin ya kayak srimulatan : Adalah Hil Yang Mustahal. 

Praktis, tetapi tanpa ilmu, apalagi sebentuk adab. 

Baik Menteri Agama, atau mereka lain yang sibuk "mengumandangkan" perang terhadap radikalisme seperti tidak terkesan serius. Entah ego atau semangat bela negara yang terlalu besar atau faktor lain yang bahkan bisa pura pura tidak melihat atau memang sengaja kunci kunci yang jelas terpapar apabila insiden Wiranto yang dijadikan patokan. 

Radikalisme bukan sekedar tanggung jawab Kementerian atau Negara saja sebetulnya. 

Apabila dikaitkan dengan sebuah keyakinan, dalam hal ini Islam, ya harus ditekankan sekali lagi bahwa tidak ada namanya Islam Radikal. 

Yang radikal itu bukan Islam dan kalau pun ada seperti kata Panji, itu adalah Radikalis yang kebetulan Islam. Menjadi tanggung jawab bersama karena, hei, saat ada diantara "mereka" yang menjadi radikal di sela sela sebuah ajaran yang bahkan Islam sendiri berarti Salamah dan konsep Rahmatan Lil Alamin, ada yang tidak tepat dalam penerapan atau ilmu yang diajarkan oleh beberapa yang menjadi kan mereka radikal. Bahkan lebih salah lagi apabila faktor ekonomi lah yang menjadikan seseorang memilih untuk menjadi radikalis, yang kebetulan Islam. 

Ini miris. Karena bagaimana seorang muslim bisa berubah radikal karena faktor ekonomi di sebuah negara yang konon mayoritas adalah muslim dan tidak ada yang membantunya sama sekali dalam hal ekonomi? 

Ini tamparan sebetulnya. 

Muslim adalah seseorang yang bahkan kehadirannya saja memberikan kedamaian.  Itu pelajaran yang baku kok. Tapi Muslim di Indonesia saat ini kebanyakan justru sibuk dengan labeling sesama, atau bahkan diri sendiri. 

Jujur, saya adalah bagian dari perilaku labeling ini. Yang karena kedangkalan ilmu gemar melabel hei kamu ahlu bidah. Kamu ini lah. Dan saya "paling" Nusantara. Bahkan menaruh rasa saling curiga. 

Menjadi malu, saat kemudian melihat, belajar dan wajib menurunkan ego dan mengosongkan gelas saat melihat bahwa banyak kebaikan kebaikan yang muncul dari mereka yang kebetulan tidak sepah dengan saya, atau kami. 

Karena baik atau buruk pada akhirnya, tidak perlu label. Ia akan bergerak dan berarti sebagaimana adanya. Bahwa bahkan ilmu yang didapat masih seujung kuku saka belum ada, dan apabila didasari dengan keinginan untuk sama sama mau belajar dan memperbaiki diri, dan saling menghormati, seorang muslim yang bodoh tidak akan punya waktu untuk menjadi radikal. 

Seorang  muslim yang bodoh akan melihat ke muslim yang lain dengan kerendahan hati. Bukan curiga, iri atau bahkan saling memusuhi. Bodoh karena tidak merasa pintar, sehingga perlu merasa betul berul berhati hati dalam ucapan dan perilaku yang bersandar pada keyakinan, dalam hal ini Islam. 

Saya pribadi tidak bisa menunjukkan dukungan atau bahkan simpati pada gerakan atau organisasi yang menyerukan Khilafah di tanah Indonesia. Tidak sekarang dan mungkin tidak akan pernah. 

Tetapi untuk tidak melihat kebaikan individu individu yang berada didalam naungan nya? 

Memberantas pola pikir atau tindakan radikalisme tidak melulu dengan mengatakan sekedar anti saja tapi tetap tidak melakukan apa apa. Labeling jelas tidak membantu. 

Yang harus dilakukan adalah mengajarkan dan mengembalikan Rahmatan Lil Alamin.  Saling bersahabat kembali dan merapatkan shaf. Saling membantu. 

Itu baru ummat Rasulullah SAW. 

Islam adalah agama, Indonesia adalah sebuah negara. Dan kalau seseorang betul betul memahami kenapa Islam bisa besar di NKRI yang terdiri dari berbagai macam suku ini dari belajar sejarah, baik sejarah Nusantara sendiri ataupun sejarah dunia dan dalam hal ini Jazirah Arab, InsyaAllah, kita akan jadi Muslim Indonesia yang tidak anti arab, tapi lebih mengerti kenapa kita betul betul bersyukur bisa berada di apa yang di idam idamkan dan penggambaran tentang surga di dunia ini. 

Wis ayo deh. Mau bermazhab apapun deh, dari 4 yang ada ya, baik Syafii, Hambali, Hanafi  dan Maliki . Semua pada seneng hijrah di Indonesia kok. Itu fakta. 

Yo adem, hijau, sudah punya adab atau etika duluan, orang nya punya budi pekerti yang halus. Siapa yang gak pengen disini? Lha bahkan keyakinan lain malah pada saling klaim "asli Nusantara" padahal ya podo pendatangnya. 

Ada lagi yang mengklaim penuh kasih padahal sejarah pun kalau mau salah salahan nih, kalau mau ngaca pada sejarah ya sama aja ente tuh ha kasih kasih amad lho. Sejarah radikalisme, fanatisme semua juga punya. Sejarah konflik semua juga bawa.

Makanya, bersyukur semua semestinya lebur di Indonesia. Tidak membawa konflik yang lama nun jauh disana. 

Bendera atau Liwa nya jadi nya ya Hamdalah.  Selalu bersyukur. Bukan lagi ribut perkara "Bendera Tauhid" wong Tauhid itu berada di hati kok. 

Siapa bilang Tauhid itu ada di bendera ?  Bicara bendera nih, entah yang hitam atau yang putih, entah terminologi bahasa yang tepatnya apa. Bendera hitam hanya keluar dua kali saat Rasulullah SAW berperang dan kemudian tentang sebuah nukilan kelak tentang Imam Mahdi. 

Imam Mahdinya sopo sih? Karena jelas kita sudah tidak di jamannya Rasulullah SAW lagi dan sedang berperang. 

Sudahlah. 

Gak capek kita berantem sendiri? Dari jaman peradaban Gunung Padang , Sunda- Galuh, Mataram, Majapahit kemudian Mataram islam kok isinya perang saudara terus menerus gak ada habisnya.

Ini juga jadi satu penanda bahwa isu agama selalu akan di pakai untik justifikasi dan legitimasi politik baik praktis maupun aktif kekuasaan. 

Jangan pada jadi politikus deh, dan merasa bahwa yang dilakukan melulu atas nama agama. Ayo Jadi lah dulu muslim yang (merasa) bodoh, yang terus menerus belajar.

Terus menerus berusaha melakukan kebaikan. Sehingga waktu nya habis untuk melakukan itu karena semakin taat akan semakin menunduk. Dan semakin cerdas akan semakin sedikit yang bertikai. Tapi justru ingin merapatkan, saling membantu dan bersama sama menegakkan kembali Rahmatan Lil Alamin. 

Kalau ada yang masih jadi radikalis karena faktor ekonomi atau hal lain, ya yang membiarkan sejatinya lebih radikal daripada radikalis itu sendiri. 

Kalau gitu gak perlu lagi larangan cadar atau celana cingkrang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun