Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Demo Mahasiswa dari Logika Tukang Becak

25 September 2019   09:11 Diperbarui: 25 September 2019   09:24 1501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spanduk bernada sarkastik tampil dalam aksi demonstrasi mahasiswa di Gedung DPRD Provinsi Lampung, Selasa (24/9/2019). Aksi mahasiswa menghasilkan 14 kesepakatan dengan DPRD setempat. (KOMPAS.com/TRI PURNA JAYA)

Bukan mempertanyakan niat bergerak, atau pun ditunggangi atau tidaknya aksi Mahasiswa yang membuahkan mosi tidak percaya kepada DPR dan juga strata turunan kebawahnya. 

Tidak pula mempertanyakan elok tidaknya cara tersebut. Namun seriusan bertanya, apabila ini sudah dinamakan, konon dan katanya--- revolusi,  apa strategi perang dalam tanda kutip para Mahasiswa ini sudah tepat dan efektif? 

Revolusi perlu strategi. Kalau niatnya sekedar meredam banyaknya Rancangan Undang Undang yang emang seriusan absurd itu, ya boleh dibilang langkah langkah ini positif pake banget. Istimewa deh. 

Asal ga ngerusak ya? 

Namun kalau mau dinamakan revolusi? Ya belum lah . Karena ini hanya akan berlaku sebagai parasetamol saat anda merasakan radang gusi yang nyut nyutan, tapi sejatinya akar permasalahan nya bukan disitu. 

Para "wakil rakyat" ini murni duduk disana mencari duit tidak secara profesional. Mereka sibuk kasak kusuk, dengan kendaraan parpol masing masing melakukan negosiasi dan re negosiasi hari demi hari untuk meluncurkan kepentingan mereka yang tadinya dalam kelompok, menjadi kepentingan bersama. 

Asal teman cukup untuk mendukung dan urusan duit nya sudah klop klopan, ga ada itu suatu tatanan delusional bernama partai pendukung atau oposisi. 

Yang kalau dinalar nih, pake logika bernegara, semestinya hal terkait kepentingan parpol sudah wajib ditinggalkan saat mereka duduk sebagai Dewan Rakyat. 

Heh, Drun. Kamu itu digaji untuk membawa aspirasi rakyat. Bukan lagi kepentingan kendaraan parpol mu lagi, atau pribadi mu yang nyari proyekan sekedar nutup modal mu nyaleg kemarin yang diluar realistis tapi dilakoni karena ngejar jadi. 

True story tentang seorang wakil rakyat.  Bagaimana seorang Bapak, tukang becak yang habis sawah dan rumah demi anaknya yang nyalin. 

800 juta, kata si Bapak.  Sembari ngobrol saat si Bapak nyambi juga jadi tukang parkir, Beliau masih berucap Hamdalah karena untung anaknya terpilih. Ini lho istimewanya Wong Jowo. Dengan tidak merendahkan profesi sang Bapak yang Membecak dan Parkir Partikelir karena sawah dan rumah sudah habis terjual demi sang anak, masih Alhamdulillah. 

Beliau rela setiap dua hari sekali mengayuh becak dari sebuah kabupaten di pinggiran Semarang, untuk kemudian membecak plus parkir dan tidur di emperan toko untuk membiayai suatu sistem yang kemudian menjadi sangat absurd. 

Saat saya bertanya, kenapa gak buat usaha saja? Beliau menjelaskan bahwa modal yang dikeluarkan nanti akan kembali saat anak sudah bisa bergerak mencari pundi proyek saat duduk sebagai "wakil rakyat" bersama dengan , tentu, setoran bulanan dan potongan  pada partai yang dipakai sebagai kendaraan. 

Logika ini yang harus dipakai seorang atau lebih Mahasiswa, saat akan melakukan aksi demo. 

Karena selama masih ada parpol dan biaya biaya tidak terduga sebesar itu untuk mendudukkan diri sebagai "wakil rakyat" , trus mau terheran heran kenapa Rancangan Undang Undang kemudian melemahkan koruptor? 

Kenapa selakangan menjadi urusan negara ? Ya diliat dong siapa yang berkolusi, berkoalisi dan duduk disana yang hobinya ngurusin selakangan dan memundurkan peran perempuan? 

Mau bilang revolusi sekedar orasi menurut saya itu enggak tepat. Ada sebuah sistem yang salah tentang parpol yang harus dibenahi di alam demokrasi Pancasila ini. 

Kelemahan yang mengakibatkan kolusi , koalisi, korupsi dan yang terakhir komitmen terhadap kinerja mereka sudah berakar.  

Kalau belum bisa menghajar akar, ya jangan sekedar kerja bakti mencabuti ranting atau dahan yang membahayakan. 

Hajar tepat di batangnya . Karena di batang itu,  masih ada saripati idealisme demokrasi Pancasila meski sudah berkelindan dengan parasit kolusi partai yang menempel erat.

Lakukan profiling dengan tepat, pemetaan dan strategi bagaimana seharusnya sebuah revolusi yang benar. 

Kalau sekedar menyuarakan aspirasi sih beneran sudah tepat. Tapi gerakan ini untuk disebut revolusi kok masih rada kejauhan.  

Itu menurutku sih. Ga ada kebenaran yang absolut jadi bebas untuk mengemukakan pendapat atau argumen panjenengan para pembaca sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun