Beliau rela setiap dua hari sekali mengayuh becak dari sebuah kabupaten di pinggiran Semarang, untuk kemudian membecak plus parkir dan tidur di emperan toko untuk membiayai suatu sistem yang kemudian menjadi sangat absurd.Â
Saat saya bertanya, kenapa gak buat usaha saja? Beliau menjelaskan bahwa modal yang dikeluarkan nanti akan kembali saat anak sudah bisa bergerak mencari pundi proyek saat duduk sebagai "wakil rakyat" bersama dengan , tentu, setoran bulanan dan potongan  pada partai yang dipakai sebagai kendaraan.Â
Logika ini yang harus dipakai seorang atau lebih Mahasiswa, saat akan melakukan aksi demo.Â
Karena selama masih ada parpol dan biaya biaya tidak terduga sebesar itu untuk mendudukkan diri sebagai "wakil rakyat" , trus mau terheran heran kenapa Rancangan Undang Undang kemudian melemahkan koruptor?Â
Kenapa selakangan menjadi urusan negara ? Ya diliat dong siapa yang berkolusi, berkoalisi dan duduk disana yang hobinya ngurusin selakangan dan memundurkan peran perempuan?Â
Mau bilang revolusi sekedar orasi menurut saya itu enggak tepat. Ada sebuah sistem yang salah tentang parpol yang harus dibenahi di alam demokrasi Pancasila ini.Â
Kelemahan yang mengakibatkan kolusi , koalisi, korupsi dan yang terakhir komitmen terhadap kinerja mereka sudah berakar. Â
Kalau belum bisa menghajar akar, ya jangan sekedar kerja bakti mencabuti ranting atau dahan yang membahayakan.Â
Hajar tepat di batangnya . Karena di batang itu, Â masih ada saripati idealisme demokrasi Pancasila meski sudah berkelindan dengan parasit kolusi partai yang menempel erat.
Lakukan profiling dengan tepat, pemetaan dan strategi bagaimana seharusnya sebuah revolusi yang benar.Â
Kalau sekedar menyuarakan aspirasi sih beneran sudah tepat. Tapi gerakan ini untuk disebut revolusi kok masih rada kejauhan. Â