Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Budaya, Pertahanan Terakhir Upaya Deradikalisasi

14 Mei 2018   01:14 Diperbarui: 15 Mei 2018   22:20 2471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluarga

Ditengah acara Graduation Day putri tercinta sebuah pesan masuk ke ponsel yang membuat lemas. Berita tentang Surabaya. 

Pelaku aksi Bom Bunuh Diri di  3 Gereja yang berada pada3 lokasi yang berbeda pagi ini, adalah sebuah Keluarga. Dita sang Bapak, menabrakkan  family car nya ke Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Jalan Arjuno  setelah meninggalkan sang Ibu, Puji bersama dengan kedua putrinya berumur 12 tahun dan 9 tahun yang akhirnya tewas meledakkan diri mereka di GKI  Jalan Diponegoro, Surabaya. 

Sebelum kedua bom yang meledak itu,  bom lebih dulu meledak di Gereja Santa Maria Tak Bercela saat ada upaya   menabrakkan diri dari kedua remaja yang belakangan di ketahui sebagai Yusuf Fadil, berusia 18 tahun dan Firman, 16 tahun. Mereka adalah putra dari Dita dan Puji. 

Pelaku pemboman 3 Gereja di Surabaya adalah datang dari 1 keluarga.

Mata memandang ke putra putri kami. Tak tenang. Tampak kegembiraan ke wajah polos mereka, anak anak kami yang baru saja selesai dengan ujian negara di Kelas 6 Sekolah Dasar ini. Bagaimana nasib mereka kelak, kedepan? Tidak sedang membicarakan jenjang pendidikan atau bahkan kaitan dengan rejeki mereka nantinya. Namun pembelajaran mereka selama 6 tahun lebih ini bakal terusik nantinya. Tentang arti keberagaman, toleransi, berkebangsaan.

Yang akan mereka hadapi , kelak, bukanlah bangsa lain. Namun saudara saudara mereka sendiri. Tercatat 13 orang korban meninggal dunia dan 41 otang luka luka akibat dari aksi bom bunuh diri di Surabaya, dan kemudian 1 ledakan di Komplek Rumah Susun Wonocolo, Surabaya, petang ini.

Korelasi Dengan Insiden Mako Brimob , Jakarta

Kapolri Tito Kurniawan kemudian dalam keterangan resminya seperti bisadilihat disini menjelaskan keterkaitan Dita, sang Bapak terduga aksi bom bunuh diri dengan jaringan kelompok pendukung ISIS, Jamaah Anshorut Daulah (JAD)  dan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) di Indonesia. 

Di keterangan yang sama dan juga berdasarkan instruksi Presiden Jokowi, Kapolri menyatakan bahwa bersama dengan TNI dan unsur terkait lainnya akan melakukan Operasi Bersama untuk menumpas habis jaringan terkait diatas, sampai dengan ke akar akarnya.  

Teror di Surabaya oleh JAD /JAT adalah aksi balas dendam terkait pimpinan tertinggi mereka yang saat ini sedang didalam persidangan dan juga merupakan pemicu dari insiden di Mako Brimob Jakarta, lusa lalu. Aman Abdurahman dan Zainal Anshori.

Aman Abdurahman, terdakwa kasus Bom Thamrin dan pemicu Insiden Mako Brimob ; sumber; tempo
Aman Abdurahman, terdakwa kasus Bom Thamrin dan pemicu Insiden Mako Brimob ; sumber; tempo

Radikalisme di Dalam Keluarga

Aksi terorisme kali ini menjadi sebuah tanda yang wajib dibaca dengan seksama. Dita, sang Bapak yang merupakan pimpinan dari JAD/JAT Suabaya telah membawa serta seluruh keluarganya untuk melaksanakan aksi bom bunuh diri ini. Dilakukan tepat di jantung Kota Pahlawan, dimana keberagaman dan toleransi selama ini menjadi satu ciri pentingnya.  

Sebagai seorang Bapak, jelas hal seperti ini membuat kami terusik. Bagaimana upaya pengenalan terhadap satu faktor terdekat dihati, keyakinan, yang sejatinya merupakan perintah untuk membawa kedamaian dan Salamah, atau selamat justru ternyata gagal dilaksanakan. Sebuah keluarga, melakukan aksi ini tentu atas perintah sang Bapak di mana ia menjadi Imam di dalam keluarga sendiri.  

Selama ini kita selalu meyakini bahwa benteng terakhir perlawanan terhadap radikalisme adalah keluarga. Menanamkan pengertian tentang bagaimana sebuah keyakinan adalah pengayom secara universal dan mengajarkan kebaikan tidak melulu pada satu golongan saja, melainkan pada seluruh manusia.

Kegagalan pada Sistem Pendidikan

Pendidikan di Indonesia tidak dapat menjadi upaya pertahanan pada radikalisasi. Bahkan pada hal-hal yang mendasar saja kita sudah terbilang gagal kok, apalagi upaya radikalisasi. Terlalu beratnya kurikulum berbanding dengan usia pendidikan. Banyaknya sekolah bertajuk keagamaan pun terbukti tak membuat Indonesia semakin tenang, hanya justru menonjolkan nilai ekslusif pada keyakinan keyakinan tertentu saja. 

Pagi itu dikala mengantar sang buah hati di acara ekskursi sekolah dasar, saya terlibat di satu percakapan mengkhawatirkan dengan seorang Bapak yang lain. Beliau sedikit bercerita tentang kekhawatirannya terhadap sistem pendidikan berbasis agama terkait dengan contoh kasus yang menimpa dirinya sendiri dan putranya.

Dengan latar belakang Kaliwungu dan pengalaman mondoknya, sang Bapak yang pun ingin agar si buah hati dapat merasakan kehidupan mondok di pesantren dengan harapan kelak menjadi seorang yang dapat berbakti pada negara dengan cermin keyakinan damai yang dianutnya.

Anak yang mondok di bangku setaraf dengan SMP ini pada akhirnya dikeluarkan paksa oleh Beliau sendiri. Saat sang Bapak yang tentu tahu akan materi pondok pesantren membaca apa yang dipelajari si anak. 

Ayat-ayat keras tanpa pemahaman sudah diajarkan disana, sejak dini. Dan yang menjadi puncaknya adalah sebuah foto yang justru membuat miris: pengibaran bendera serupa Daulah Islamiah/ISIS di acara kemping si anak oleh senior-seniornya.

Diknas dan Kemenag, perhatikan hal seperti ini. Lakukan studi banding tentang pendidikan di usia bermain terbaik, bukan terberat. dan lakukan pengawasan secara lebih mendalam. Embrio radikalisme sedang dilakukan dibawah hidung anda, dan kalian diam saja saat mengetahui.

Deradikalisasi Dalam Keluarga

Acara pentas seni yang diadakan di pesta kelulusan putri menjadi terasa begitu tak bermakna dan (seriusan) membosankan. Mix Feelings, karena sudah 2 kali ini saya menghadiri acara kelulusan dan pentas yang diadakan sama sekali tak mengangkat budaya Indonesia namun cenderung kebarat-baratan. Tapi sekaligus tamparan, melihat mereka dan keberagamannya, dan juga putri sendiri yang mengenakan atribut bebas t-shirt dan jins dan sebuah trucker  Deus Ex Machina. 

Bagaimana saya bisa protes tentang sebuah acara pentas seni yang kebarat-baratan sementara saya pun 'sedikit'nya gagal dalam mengenalkan budaya yang asli Indonesia ke lingkungan terdekat sendiri?

Mata kemudian tertuju ke sosok satu anak ini. Di acara bebas, di mana terlihat anak-anak dengan label t-shirt kekinian, klub bola luar negeri  dan yang lain, Ia memilih atau dipilihkan sebuah busono yang mencerminkan jati dirinya 

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Budaya dan Jati Diri Asli

Mas Onto, namanya. Salut terhadap orangtuanya, putrowayah Mataraman yang tidak melupakan budaya, tidak melupakan asal usulnya. Seriusan, ini bukan acara Kartinian atau Hari Kemerdekaan, di mana kadang akhirnya kita salah kaprah karena pengenalan jati diri dan keberagaman hanya dilakukan setahun beberapa kali aja.

Sementara embrio pengajaran radikalisme? 

Secercah harapan kemudian timbul. Ide terbesit. Kita selama ini ribut melulu tentang nilai-nilai mayoritas dan minoritas. Ribut mengenai aliran ini dan itu. Keyakinan. Rasialisme. Kalimat cukup agama sebagai penolongku terasa tak cukup lagi. Penolong siapa? Bahkan pada kenyataannya tak bisa menolong diri sendiri atau bermanfaat bagi orang lain.  

Saat pelajaran budi pekerti dihilangkan, PMP atau Pendidikan Moral (berbasis) Pancasila tak lagi ada, ya pengenalan budaya pada usia dini secara teori bisa menjadi benteng terakhir upaya pencegahan radikalisme. Itu apabila kita mau bersama sama melakukannya. Pray tok, kami tidak takut tok dan yang lain sudah tidak cukup lagi. 

Kita bisa sama-sama selalu beradu argumen sebagai warganet di media sosial, atau mau menggunakan media sosial sebagai satu media untuk mengenalkan budaya, jati diri asli dan nilai luhur bangsa?

Seorang Sinaga, jangan sampai lupa dengan asal usul dan jati diri asli dan keindahan daerahnya. Tambayong, ngana jangan sampai lupa kenikmatan baku dapa dan budaya sekitarnya. Seorang Liem, tak pantas apabila kemudian hanya sibuk mengumpulkan bitcoin tapi tidak kenal bagaimana cara, cerita dan nilai bagaimana dulu perjuangan keluarganya. 

Seorang Prawirodirdjan, jangan pernah lupa bagaimana dulunya genre 'rebel' terhadap kemapanan Keraton yang sedang berkoalisi dengan penjajah. 

Dan seorang Al Bakrie. Jangan sampai ia lupa, bahkan. Dimana keyakinan yang dianutnya dan sejarah keluarganya lah yang mengantarkan ia ke Bumi Nusantara saat perseteruan di gurun setelah wafatnya Rasulullah SAW dahulu. Dan mereka yang berdarah Pasundan. Daerah yang semula menjadi cikal bakal Kapitayan dan Bangsa yang Besar kok malah jadi basis radikalisme?

Saat kita sudah bisa berhasil mengenalkan jati diri asli terhadap mereka, kenalkan tentang nilai kebersamaan. Universal, dan kelak nantinya keyakinan apapun yang dianut akan selaras dengan jati diri asli Indonesia. Bukan sebaliknya, malahan. Ini upaya deradikalisasi dengan budaya. Media seharusnya menjadi jembatan atas hal pengenalan ini. 

jare pribumi? ujar Lutfhi Rachmad yang mengajarkan wayang pada buah hatinya ;sumber : LR pribadi
jare pribumi? ujar Lutfhi Rachmad yang mengajarkan wayang pada buah hatinya ;sumber : LR pribadi
Seorang Ibu, Dawuh dengan halus tapi mengena pada satu masa. Dengan cerita dan sekaligus pertanyaan. Mengenai aksara, dan konsep mendasar penguasaan diri sedulur papat limo pancer. Di mana didalam niat yang bersih dan bukan melulu keinginan atau kareb, Gusti akan memberikan petunjuk melalui nurani yang berada di dalam hati. 

Ibarat cerita Bima dan Dewa Ruci.  Satu menuju yang lain, dimana seorang Begawan memberikan Dawuh tentang budaya, upaya penyelamatan bangsa dari angkara yang mengatasnamakan nilai "Ketuhanan" ini. 

Seorang sahabat, didalam diskusi larut malam menjelang pagi tiba-tiba menggelar ilmu tentang Sastra Jendra Pangruwating Diyu.

Semua ini dan peristiwa beruntun radikalisme yang mengatasnamakan Ketuhanan ini tiba-tiba mengingatkan pada satu pesan yang mendalam tentang "ngelmu karang" dari Mangkunegara IV.  

Penulis lebih dari 40 buku, dalam satu serat bait ke 9  menyampaikan kritikan yang keras atas mereka yang merasa mendapat bisikan 'goib' namun sekedar ngarang, atau mereka reka.

Kekerane ngelmu karang, Kekarangan saking bangsaning gaib,
Iku boreh paminipun,Tan rumasuk ing jasad,
Amung aneng sanjabaning daging kulup,Yen kapengkok pancabaya,
Upayane  mbalenjani.

Di dalam ilmu rekaan, Rekaan dari hal-hal gaib,
Itu ibarat bedak,Tidak meresap ke dalam jiwa,
Hanya ada di luar daging saja nak,Apabila terbentur mara bahaya,
Tak dapat diandalkan (Yang disanggupi diingkari).

Sebuah pemahaman akan bisikan gaib atau perintah, tapi sekedar mereka-reka kok diikutin. Apalagi sekedar 'galak' diluar saja, wadaq dan mengusik nilai kemanusiaan, kok dijalanin? Perintah gaib untuk memusuhi saudara sendiri? Sudah yakin itu benar-benar dari Yang Maha Gaib?

Ini adalah ajakan untuk menangkal radikalisme, dari satu tatanan yang terkecil dahulu. Diri sendiri, dan keluarga. 

Karena kelak, mereka yang jadi penjaga bangsa ini. Bukan mereka yang menjual produk Khilafah tapi bahkan menjadi khalifah diri sendiri untuk mengendalikan nafsu pun sejatinya gagal paham.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun