Seorang Sinaga, jangan sampai lupa dengan asal usul dan jati diri asli dan keindahan daerahnya. Tambayong, ngana jangan sampai lupa kenikmatan baku dapa dan budaya sekitarnya. Seorang Liem, tak pantas apabila kemudian hanya sibuk mengumpulkan bitcoin tapi tidak kenal bagaimana cara, cerita dan nilai bagaimana dulu perjuangan keluarganya.Â
Seorang Prawirodirdjan, jangan pernah lupa bagaimana dulunya genre 'rebel' terhadap kemapanan Keraton yang sedang berkoalisi dengan penjajah.Â
Dan seorang Al Bakrie. Jangan sampai ia lupa, bahkan. Dimana keyakinan yang dianutnya dan sejarah keluarganya lah yang mengantarkan ia ke Bumi Nusantara saat perseteruan di gurun setelah wafatnya Rasulullah SAW dahulu. Dan mereka yang berdarah Pasundan. Daerah yang semula menjadi cikal bakal Kapitayan dan Bangsa yang Besar kok malah jadi basis radikalisme?
Saat kita sudah bisa berhasil mengenalkan jati diri asli terhadap mereka, kenalkan tentang nilai kebersamaan. Universal, dan kelak nantinya keyakinan apapun yang dianut akan selaras dengan jati diri asli Indonesia. Bukan sebaliknya, malahan. Ini upaya deradikalisasi dengan budaya. Media seharusnya menjadi jembatan atas hal pengenalan ini.Â
Ibarat cerita Bima dan Dewa Ruci.  Satu menuju yang lain, dimana seorang Begawan memberikan Dawuh tentang budaya, upaya penyelamatan bangsa dari angkara yang mengatasnamakan nilai "Ketuhanan" ini.Â
Seorang sahabat, didalam diskusi larut malam menjelang pagi tiba-tiba menggelar ilmu tentang Sastra Jendra Pangruwating Diyu.
Semua ini dan peristiwa beruntun radikalisme yang mengatasnamakan Ketuhanan ini tiba-tiba mengingatkan pada satu pesan yang mendalam tentang "ngelmu karang" dari Mangkunegara IV. Â
Penulis lebih dari 40 buku, dalam satu serat bait ke 9 Â menyampaikan kritikan yang keras atas mereka yang merasa mendapat bisikan 'goib' namun sekedar ngarang, atau mereka reka.
Kekerane ngelmu karang, Kekarangan saking bangsaning gaib,
Iku boreh paminipun,Tan rumasuk ing jasad,
Amung aneng sanjabaning daging kulup,Yen kapengkok pancabaya,
Upayane  mbalenjani.
Di dalam ilmu rekaan, Rekaan dari hal-hal gaib,
Itu ibarat bedak,Tidak meresap ke dalam jiwa,
Hanya ada di luar daging saja nak,Apabila terbentur mara bahaya,
Tak dapat diandalkan (Yang disanggupi diingkari).