Radikalisme di Dalam Keluarga
Aksi terorisme kali ini menjadi sebuah tanda yang wajib dibaca dengan seksama. Dita, sang Bapak yang merupakan pimpinan dari JAD/JAT Suabaya telah membawa serta seluruh keluarganya untuk melaksanakan aksi bom bunuh diri ini. Dilakukan tepat di jantung Kota Pahlawan, dimana keberagaman dan toleransi selama ini menjadi satu ciri pentingnya. Â
Sebagai seorang Bapak, jelas hal seperti ini membuat kami terusik. Bagaimana upaya pengenalan terhadap satu faktor terdekat dihati, keyakinan, yang sejatinya merupakan perintah untuk membawa kedamaian dan Salamah, atau selamat justru ternyata gagal dilaksanakan. Sebuah keluarga, melakukan aksi ini tentu atas perintah sang Bapak di mana ia menjadi Imam di dalam keluarga sendiri. Â
Selama ini kita selalu meyakini bahwa benteng terakhir perlawanan terhadap radikalisme adalah keluarga. Menanamkan pengertian tentang bagaimana sebuah keyakinan adalah pengayom secara universal dan mengajarkan kebaikan tidak melulu pada satu golongan saja, melainkan pada seluruh manusia.
Kegagalan pada Sistem Pendidikan
Pendidikan di Indonesia tidak dapat menjadi upaya pertahanan pada radikalisasi. Bahkan pada hal-hal yang mendasar saja kita sudah terbilang gagal kok, apalagi upaya radikalisasi. Terlalu beratnya kurikulum berbanding dengan usia pendidikan. Banyaknya sekolah bertajuk keagamaan pun terbukti tak membuat Indonesia semakin tenang, hanya justru menonjolkan nilai ekslusif pada keyakinan keyakinan tertentu saja.Â
Pagi itu dikala mengantar sang buah hati di acara ekskursi sekolah dasar, saya terlibat di satu percakapan mengkhawatirkan dengan seorang Bapak yang lain. Beliau sedikit bercerita tentang kekhawatirannya terhadap sistem pendidikan berbasis agama terkait dengan contoh kasus yang menimpa dirinya sendiri dan putranya.
Dengan latar belakang Kaliwungu dan pengalaman mondoknya, sang Bapak yang pun ingin agar si buah hati dapat merasakan kehidupan mondok di pesantren dengan harapan kelak menjadi seorang yang dapat berbakti pada negara dengan cermin keyakinan damai yang dianutnya.
Anak yang mondok di bangku setaraf dengan SMP ini pada akhirnya dikeluarkan paksa oleh Beliau sendiri. Saat sang Bapak yang tentu tahu akan materi pondok pesantren membaca apa yang dipelajari si anak.Â
Ayat-ayat keras tanpa pemahaman sudah diajarkan disana, sejak dini. Dan yang menjadi puncaknya adalah sebuah foto yang justru membuat miris: pengibaran bendera serupa Daulah Islamiah/ISIS di acara kemping si anak oleh senior-seniornya.