Amaran: Apabila saat ini Anda mempunyai pendapat bahwa Indonesia dapat menggunakan Pemilu di Malaysia sebagai sebuah acuan positif, mohon kalibrasi ulang sensor politik anda. Sangat besar kemungkinan indera politik anda sedikit mati rasa karena repetisi propaganda dan suhu politik di Indonesia sendiri yang akhir-akhir ini mempunyai kecenderungan "kurang dewasa".
Alasan yang paling utama adalah, hei. Kita sudah berdarah darah saling mengumpat dan membenci sesama saudara sampai di titik ini. Sebentar lagi justru kita akan merasakan kematangan sikap dalam berpolitik. With all due respect to our Neighbouring Country, Malaysia Hebat. Whatever.Â
Politik di Indonesia jauh lebih cantik dan menarik pola permainannya. Simak alasannya.
Berkutat di pilihan dan argumen yang itu-itu saja
Dr. Mahathir Muhammad versus Najib Razak, dalam satu posisi terbalik di mana kini Sang Guru menghadapi Sang Murid. Oke, ada satu perubahan "positif" di mana Barisan Nasional yang merupakan koalisi tak terkalahkan selama 60 tahun sejak Inggris memberikan Kemerdekaan pada Malaysia sebagai persemakmurannya, pada akhirnya "tumbang". Terobosan besar kah bagi Malaysia? Atau mengutip kata Neil Armstrong, "A Giant Leap to Humanity" ---there in Malaysia?
Mereka masih saja berkutat pada orang yang sama, dan lagu politik yang sama dengan aransemen sedikit baru. Najib Razak kalah karena kepercayaan publik Malaysia pada dirinya jelas menurun drastis karena skandal korupsi besar besaran. UMNO jelas gak suka dengan kondisi ini.
Dan pemenangnya pun kembali ke Mahathir, yang kini sudah berusia 94 tahun. Di mana sejatinya, ia pun yan tampil dengan koalisi oposisi baru masih menggunakan rasa lama yang sama: keistimewaan ras Bumiputera.
Malaysia, the truly racial game
Positioning rasialis seperti ini yang mau diajarkan ke Indonesia? Hello, kayak kita gak punya bahan lain lagi saja. Pemainnya sama, topik yang diangkat itu-itu lagi. Dan apa gak ada orang lain lagi ya? Yang muda misalnya?
Mahathir "pernah" istimewa karena dia berani mendobrak hegemoni rasialis Bumiputera. Dia mengatakan bahwa dengan segala fasilitas lebih kepada ras Melayu dan diskriminasi pada ras Chinese Malay dan Indian Malay sebagai warga negara kelas 2 dan 3 pun tak menjadikan "Bumiputera" maju, tapi justru menjadi pemalas. Karena pada akhirnya, tetap walau di bawah diskriminasi, warga Chinese Malay mampu mendominasi perputaran ekonomi di Malaysia. Dan ide kesetaraan yang semula tampak mendobrak dan keren itu pada tahun 2002. Wis suwe yo.
Ide yang terlalu lama dibiarkan berkarat, sehingga mereka warga kelas dua dan tiga di Malaysia pun sampai merasakan tidak penting untuk berpolitik atau menggunakan hak pilih, toh saya tidak didengarkan. Bagaimana dengan Bumiputeranya sendiri? Mereka pun tidak semakin maju berpikir politiknya , karena concern mereka terbesar hanya pada biaya hidup yang semakin tinggi saja, biarpun saya seorang bumiputera.
Bumiputera yang memegang keuntungan posisi secara rasialis pun akhirnya mati rasa, sedikit masa bodoh dan banyak yang mahu equal opportunity bagi saudara sebangsa mereka. Tak mau mendiskreditkan. Bagus sekaligus enggak sih.
Kalaupun ada yang mau diambil dari Pemilu 2018 di Malaysia ini, ya belajarlah dari buruknya diskriminasi rasial yang membawa keistimewaan Bumiputera ini. Bahwa apabila Anda terlahir sebagai ras Melayu, otomatis Anda mendapatkan kemudahan, baik dari edukasi sampai dengan kesempatan bekerja nantinya.Â
Dan ternyata itu tidak serta merta menjadikan semakin baik, tapi justru pasif --kalau tidak mau meminjam kata yang sedikit kasar dari Mahathir sendiri: menciptakan pemalas. Dan yang jelas lagi bisa diambil ya jangan elu lagi elu lagi lah pemainnya.
Memakai alat yang sama, dengan skill yang sama dan mengharapkan hasil yang berbeda itu pekerjaan yang mustahil.Â
Indonesia, apa menu politik kita?Â
Rasialis? Sudah dong. Angkat sentimen atau kekuatan agama atau bigotry? Kultural? Kita jagoannya. Berkebangsaan alias nasionalis? Cakep kita di situ. Historis? Pastinya. Liberalis, sosialis, radikalis, tapal kudais seksis, isu negatif komunis, dan bahkan sok Machois Sadomasokis Militeris aja kita ada kok.
Kita bahkan sukses mendobrak tradisi melibatkan para voters muda untuk kembali aktif menggunakan hak suaranya di 2014 kemarin. Demokrasi yang betul betul dinamis dan segar. Sampai kemudian menyibukkan diri kita untuk terlalu berkutat disana dan "didesak" untuk menjadi fanatis. Semua gara gara kontrak politik yang tidak ditepati, dan ego orang yang bahkan rela mencacah cacah bangsanya, semua demi kemenangan.
Antara konservatif bau darah dan pemikir muda yang fresh ikonik. Masa mau mundur lagi jadi gak menarik seperti di Malaysia?
Nanti dulu ah.
Bumiputera atau pribumi. Bagaimana menggunakannya secara positif?
Sejatinya kata "pribumi" bukanlah momok, apabila dipergunakan dengan tepat. Kita yang mempunyai kekayaan kultural beragam ini sebetulnya bisa menggunakan kekuatan kata "pribumi" sebagai sesuatu yang baik.
Pribumi ya asli Indonesia, keberagaman. Bukan sekadar Melayu, atau malah terlihat bermain aman sekadar menggunakan kekuatan massa komunal agamis mayoritas (dalam hal ini Islam), yang sebenarnya kalau mau jujur malah bukan "pribumi" di Indonesia sendiri.
Partai Pribumi sebetulnya bisa bermain di pasar yang lebih luas. Nasionalis karena mengangkat keberagaman bahwa semua orang adalah putra asli Indonesia. Memperhatikan ke elokan hak kebersamaan, kejayaan lampau Nuswantara, Wilwatika. Mengangkat budaya dan religi dalam konteks yang Indah dan menarik. Memperhatikan hak para penghayat kepercayaan, yang selama ini malah seperti "tamu" di tanahnya sendiri.
Keindahan cultural mix kita sebagai warna asli Indonesia.Â
Bukan Bumiputera ala Melayu Malaysia malahan. No disrespect, nanti akan diulas di artikel yang lain secara lebih rinci.
Tahniah, Malaysia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H