Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Maharddhika, Akhirnya Kepercayaan Asli Nusantara Dianggap Setara

7 November 2017   19:54 Diperbarui: 8 November 2017   09:28 3268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maharddhika-- Kata Sansekerta yang aslinya merupakan sebuah ucapan salam bermakna sejahtera, hebat memang mengalami sedikit perubahan arti. Maharddika kemudian lebih dikenal dengan Mahardika. Yang bermakna lugas bebas, dan bahkan KBBI pun memberikan arti yang sedikit lain: berilmu, berbudi luhur dan bersifat bangsawan. 

Dengan pengaruh Portugis dan Belanda, Mahardika malah semakin berubah menjadi Mardjikers yang didalam bahasa Portugis, Mardika berarti Bebas. Dan serapan Maharddhika dan Mardika menjadi Merdeka. Kebebasan.

Dan hari ini, "Salam Maharddhika" yang sedari awal merupakan kalimat baik pun berkumandang kembali. Di antara mereka, para penganut kepercayaan asli Nusantara yang justru selama ini tidak mendapatkan pengakuan setara oleh pemerintah. Namun hari ini, Mahkamah Konstitusi secara gamblang dan diikat dalam satu peraturan untuk mengakui keberadaan dan kesetaraan para penganut kepercayaan asli Nusantara. Baca lebih lengkap beritanya di sini

Berada, dan Setara
Bahwa penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. Selama ini, status hukum dan hak terkait administrasi kependudukan mereka memang seringkali tidak diindahkan. Bahkan tak jarang terjadi, demi memperoleh hak untuk diakui sebagai Warga Negara Indonesia, mereka sering harus (dan bahkan diwajibkan) untuk mengatakan bahwa mereka menganut salah satu dari enam agama yang sudah diakui terlebih dahulu. Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan bahkan yang terakhir diakui adalah Kong Hu Cu.

Belum lagi peristiwa demi peristiwa di mana terjadi perlakuan diskriminasi dan bahkan perlawanan bagi mereka sekedar demi mempertahankan apa yang sejatinya merupakan hak mereka. Cap sesat dari masyarakat awam yang tidak mengerti dan enggan belajar lebih lanjut.

Perlakuan diskriminasi seringnuya meminta mereka untuk mengosongkan apa yang mereka percayai di dalam kolom agama didalam pencatatan pada Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mencatat, setidaknya ada sekitar 245 Aliran kepercayaan asli Nusantara yang mempunyai pemeluk 400 ribu orang. Itu baru yang tercatat, karena besar kemungkinan pencatatan model "gunung es" tadi tidak benar benar secara detil dan rinci menjabarkan mereka yang telah terpaksa mencantumkan agama lain demi sebuah pengakuan secara administrasi akan keberadaan mereka . 

Kini, mereka berhak untuk apa yang sudah dinantikannya sejak (terlalu lama). Istilah baku yang saat ini disematkan untuk mereka secara administratif adalah "Penghayat Kepercayaan"

Selamatan . sumber : Collectie Tropen Museum
Selamatan . sumber : Collectie Tropen Museum
Kapitayan, asal mula "Penghayat Kepercayaan"?
Kapitayan, yang diyakini sebagai cikal bakal asli kepercayaan Nusantara pun (awalnya) tidak mengenal konsep dewa, tidak seperti Agama Hindu, Buddha ataupun Kong Hu Cu. Maka tidaklah tepat apabila kemudian Hindu atau Buddha pun mengklaim sebagai agama asli Nusantara. Inilah salah kaprah yang seringkali terjadi, meski pada akhirnya pengaruh pun ada.

Kata sembahyang yang kita tau sekarang ini pun berasal dari kata menyembah Hyang. 

Dalam hal in Sanghyang Taya , yang berarti hampa. Tan kena kinaya Ngapa. Sang Maha Yang "Kosong", Namun Juga "Isi". Keyakinan Monoteisme yang sayangnya karena ketidakpahaman masa lalu malah seringnya diidentikkan dengan animisme dan dinamisme. 

Lebih jauh lagi, bahkan masyarakat penganut Kejawen yang juga berkembang dari Kapitayan pun membahasakan dalam salah satu falsafah nya : 

"Pangeran Iku Langgeng, Tan Kena Kinaya Ngapa, Sangkan Paraning Dumadi" - bahwa Tuhan adalah Abadi, tak bisa diperumpamakan, dilambangkan dengan apa dan siapa dan menjadi asal dan tujuan kehidupan.

Konsep Kapitayan inilah yang kemudian "melebur". Sejarah masuknya Islam dengan "kemudahan" apabila dibandingkan dengan keyakinan yang lain adalah di mana sosok "Allah" yang dibawa dalam syiar Islam pada saat itu mudah diterima dengan baik karena sifatnya yang relatif sama. Atau bahkan disama-samakan sehingga penyerapannya lebih mudah? Anda bebas menyimpulkan sendiri terkait referensi artikel di sini.

Sejarah peradaban manusia sejauh bahkan 23.000 tahun sebelum masehi: Situs Gunung Padang.

Ilustrasi Gunung Padang dari Ir. Pon S Purajatnika - sumber : grahamhancock.com
Ilustrasi Gunung Padang dari Ir. Pon S Purajatnika - sumber : grahamhancock.com
Bangunan berundak mirip Piramida yang diklaim bahkan lebih tua dari Piramida Giza di Mesir memang masih banyak menimbulkan pro dan kontra. Ditemukannya ruangan berongga, sampai dengan reaktor pembangkit hidro elektrik yang diklaim mempunyai usia 13.000 sampai dengan 23.000 tahun sebelum masehi. Ini menjadi salah satu temuan terpenting abad ini yang bahkan semakin menjelaskan adanya kebudayaan maju di bumi Nusantara sendiri. Di pekarangan kita. Budaya yang juga membawa satu keyakinan. Sunda Wiwitan. Secara garis besar, penemuan ini bisa menjadi satu penentu:

Bahwa sejatinya pada masa yang relatif sama dengan sejarah versi Abrahamik, di sini sudah ada keyakinan asli Nusantara.

Lantas mengapa selama ini bahkan mereka Urang Kanekes, atau lebih dikenal dengan Suku Badui sering kali diabaikan? Atau bahkan 245 aliran kepercayaan lainnya? 

Baduy Kembali . Sumber : kompas.com
Baduy Kembali . Sumber : kompas.com
Beberapa melihat hal ini sebagai satu rangkaian peristiwa bahwa tidak ada yang "kebetulan" dalam satu Kebangkitan Nusantara. Saya melihat ini dalam konteks yang lebih sederhana. Saat kita sebagai suatu bangsa tanpa terkecuali berhasil mengenali jati diri kita yang sesungguhnya, dan sudi untuk mengakui dan menghormati perbedaan yang ada sebagai kekayaan untuk menuju Indonesia yang seutuhnya, bersama sama. Toleransi beragama dan kini, berkeyakinan yang berlindung di bawah demokrasi Pancasila.

Itu arti Mahardika yang sebenar-benarnya.

ritual pemotongan anak berambut gimbal Dieng. Peleburan keyakinan. sumber : ensiklopediaindonesia.com
ritual pemotongan anak berambut gimbal Dieng. Peleburan keyakinan. sumber : ensiklopediaindonesia.com
Nah sekarang sedikit pernyataan yang rada menggelitik. Menurut pembaca, apakah seorang atheis itu Pancasilais? Tentunya terkait dengan, ehm, pengamalan sila pertama ya? 

Rahayu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun