Lantai 4 atau Lantai 2?
Bagi penggemar dunia clubbing di Jakarta, Stadium pada masanya adalah satu "oase kebebasan". Selama 16 tahun dan 7 bulan ia mendentum Jakarta. Dengan musik trance, progressive, dan nama-nama kondang, bahkan DJ Mancanegara yang sempat singgah untuk spinning di sana. Bebas.Â
Anda bisa mendapatkan narkoba jenis X (ecstassy, red) di dalam sana meski tidak secara terbuka diedarkan, sulit bukanlah hal yang diucapkan. Bagi pengunjung nonreguler, sasaran utama adalah lantai 4. Designer drugs kelas cere atau lokalan pun bisa didapat disana dengan sedikit kasak kusuk sok kenal. Harga jelas relatif lebih tinggi dari harga pasaran yang ada. Namun dengan beli di dalam, Anda mendapatkan sebuah kebebasan, dan keamanan. Jangan coba-coba bawa sendiri dari luar. Kalaupun iya, sebagai wujud etiket yang baik, Anda tetap wajib membeli beberapa gelintir barang dari dalam sana.
Ini adalah aturan main baku, apabila Anda ingin langgeng bersuka cita di sana tanpa adanya gangguan hukum dan keamanan. Salah langkah, jangan merajuk nantinya apabila Anda terdampar di Polres Taman Sari, Mangga Besar Jakarta akibat tes urin yang terbukti positif dan tuntutan kasus penyalahgunaan narkoba.Â
Manajemen tak tampak
Ikuti aturan main dengan santun, tidak membuat onar, maka "manajemen tak tampak" di dalam akan memberikan garansi kenyamanan bagi anda untuk bersuka cita, yang tak jarang dilakukan dari Jumat sampai dengan Senin dini hari. Bilik-bilik lengkap dengan (ehm) wanita muda asal Indramayu siap menemani Anda yang memilih untuk rehat sejenak sebelum melanjutkan prosesi travelling without moving anda. Stadium pun tak jarang menjadi tempat untuk "lanjut" bagi mereka yang sudah on duluan dan masih ogah untuk ngedrop.Â
Pecah sepecah pecahnya, antara Jakarta yang tak pernah tidur, peredaran narkoba dan seks, seperti yang dilansir di artikel indonesianexpat.biz di sini.
Ini adalah gambaran baku tanpa basa basi tempat legendaris yang akrab di seluruh lapisan masyarakat Jakarta dan bahkan Indonesia. Masyarakat Clubber, dalam hal ini. Dan tempat inilah yang pada akhirnya berhasil ditutup oleh Basuki Tjahaja Purnama, atau lebih akrab dipanggil dengan Ahok dan tentunya Pemprov DKI dalam hal ini. Sekedar refresh berita dapat diklik di tautan ini.
Dan masyarakat pun bersorak. Pujian diberikan kepada Ahok, atas prestasi tersebut. Karena selama ini, Stadium yang konon dibekingi oleh beberapa petinggi aparat pun pada akhirnya wajib takluk masa kejayaannya.Â
Udin Gondrong, Daeng Aziz dan skate park keren
Masyarakat pun kembali bersorak atas hadirnya sebuah tempat wisata baru. Skate park keren, areal bermain keluarga yang nyaman dan aman. Tak tanggung tanggung, areal tersebut didirikan di atas apa yang dulu dikenal dengan Lokalisasi Kalijodo. Areal yang dulunya dikuasai oleh Gang Mandar di bawah Udin Gondrong sampai dengan 2002 di mana kemudian koalisi Geng Makassar, Geng Banten dan Geng Kulon pun mengambil alih kekuasaan wilayah tersebut sampai dengan penghujung tahun sebelum pada akhirnya resmi digusur. Tercatat, 3 kali penggusuran besar dilakukan di sana dan yang (tampak) berhasil hanyalah yang terakhir.Â
Ahok pun kembali mendapatkan kepercayaan publik atas prestasinya ini. Dan hal yang tampak di permukaan memang tak semulus apa yang harus dilakukannya di bawah tangan, demi sebuah cita-cita membersihkan DKI dari prostitusi dan juga narkoba.Â
Bahkan area aparat seperti Berland, Halim dan bahkan beberapa menyelip di Kodam Jakarta Selatan. Ini adalah "lokalisasi" narkoba. Di daerah daerah yang disebutkan sebelumnya, Anda bisa dengan mudah berkendara ke sana, membawa uang berapa saja dan rumah rumah penduduk di sana akan dengan mudah menawarkan anda sajian yang mereka punya. Bukan, bukan wanita muda. Tapi narkoba.
Sementara di sisi yang lain, kasus human trafficking yang notabene adalah perbudakan dalam prostitusi mancanegara pun menghadirkan wanita Eropa Timur Uzbekistan, Cungkuok dan tak jarang wanita Rusia. Jakarta adalah kota yang menawarkan segalanya.
Buat mereka yang paham akan pergerakan dunia ini, buku Jakarta Undercover ala Moammar Emka tak lebih dari cerita menjelang tidur kelas anak anak. Asli enggak ada heboh hebohnya. Namun bagi yang awam, emang sih, bolehlah tampak penuh intrik, mencengangkan dan revolusioner. Semua yang dulunya dimulai dari sebuah sarana pelarian kelas atas era Orde Baru di bilangan Prapanca sana. Situ siul sini siap.
Perilaku irasional die hard voters
Alexis kembali membuat heboh. Hotel slash tempat hiburan satu atap ini secara resmi tidak diperpanjang perizinannya. Keputusan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan gubernur terpilih baru, Anies Baswedan ini memang bukan tidak berdasar. Salah satu agenda yang digaungkan pada saat itu memang untuk menutup Alexis, tempat yang ditengarai menjadi tempat kebugaran papan atas. Tidak ngetop untuk urusan narkobanya, namun (ehm) kasak kusuk di jalan lebih mengutamakan kebugaran dan relaksasi dengan fantasi secara menyeluruh. Dalam hal ini, prostitusi. Sejatinya ia bukanlah tempat yang pertama kali menawarkan "teman curhat" mancanegara kok. Dan kamar tematis pun bukanlah keistimewaan yang hanya ada di sana. Bahkan pajak yang konon dibayarkan sebesar kurang lebih 30 milliar per tahun pun tak memengaruhi keputusan Anies.
Sebuah alasan yang sebetulnya sangat beralasan karena beberapa faktor. Yang pertama, pembayaran Alexis yang hanya sebesar 30 milliar per tahun, atau lebih tepatnya sebesar 36 milliar per tahun menurut keterangan dari Anies di sini itu sangat kecil apabila dibandingkan dengan target sebesar 750 milliar di tahun 2017. Tidak signifikan apa yang disetorkan oleh mereka dengan omset yang secara rapi mereka tutupi. Beberapa alasan lain seperti bukti penyalahgunaan ijin, kegiatan melanggar hukum dan bukti-bukti lain yang sudah dikantongi oleh Pemprov DKI menjadi hal yang memantapkan tidak lagi diperpanjangnya izin Alexis.
Disini, perilaku irasional die hard voters DKI menjadi layak dipertanyakan. Mengapa mereka?
Media sosial, lagi lagi menjadi ramai akibat penutupan Alexis. Kali ini bukanlah pujian, ungkapan kelegaan atau bahkan terima kasih yang diberikan. Makian, satir nyinyir dan tak jarang komentar-komentar yang irrelevant pun membanjiri pemberitaan seputar penutupan Alexis. Pendapat pendapat keminter seperti akan dikemanakan 1000 pekerja Alexis, Pemprov DKI munafik karena tidak mau menerima pendapatan sebesar 30 milliar lebih per tahun sampai dengan mempersoalkan statement Anies Baswedan yang menginginkan uang halal, itulah tanda ketidakrasionalan warga DKI. Jujur saja.
Menjadi tak rasional, karena sebuah upaya baik tidak didukung hanya karena siapa yang melakukan. Bukan apa yang dilakukan. Tampaknya warga DKI masih saja meradang karena peristiwa pemilihan yang lampau dan terpenjaranya seorang Ahok? Tampaknya ucapan "sumbu pendek" yang seringkali disematkan mereka para pemilih Ahok, kali ini wajib disematkan kepada diri mereka sendiri.
Dan hal hal seperti ini lah mengapa predikat irrational die hard voters wajib disandangkan untuk kalian. Narkoba, prostitusi adalah perang yang wajib dilakukan bersama, tanpa terkecuali menjadi tidak bermakna karena sikap tak rasional yang lebih sarat rasa ketimbang logika. Jangan buru-buru cepat mengambil kesimpulan. Karena jelas, pekerjaaan rumah Pemprov DKI terkait tempat hiburan, prostitusi dan terlebih narkoba masih panjang.
Apabila ada logika yang berusaha ditampilkan, tak lebih sekadar justifikasi atau logika yang sekedar dipaksakan. Secara waras dan sadar dan blak-blakan melihat ini sebagai sebuah perilaku gangguan kejiwaan yang tanpa disadari sudah menjadi bagian dari warga pemilih DKI, dan "sedikit" menular ke wilayah Indonesia lainnya.
Anda butuh hiburan, Warga DKI? Mau Stadium dibuka lagi? Nih saya colek Om Bobby deh kalo gitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H