Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menilik Proses Lahirnya Sebuah Ideologi Negara dan Kini

1 Juni 2017   09:29 Diperbarui: 2 Juni 2017   09:39 2463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soekarno dan Cindy Adams - Sumber https://rosodaras.files.wordpress.com

Apabila anda adalah seorang putra Ende, Flores, sudah seharusnya anda sungguh berbangga hati.  

Pohon Sukun, dengan pemandangan lepas ke Teluk Ende. Langit yang biru dengan awan yang putih. Di Pulau Flores yang sepi, aku menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon. Merenungkan ilham yang diturunkan Tuhan, yang dikenal dengan Pancasila." ujar Soekarno dalam buku Soekarno, An Autobiography As Told To Cindy Adams.

Saat itu Soekarno tidak menyebut ilham yang didapatkan dari Tuhan itu serta merta bernama Pancasila.

"Lima Mutiara yang Indah" Itulah cikal bakal dari sebuah Ideologi Negara. Lima dahan pohon sukun yang menjadi satu. Ilham sekaligus inspirasi seorang visioner bernama Soekarno. Cindy Adams sangatlah beruntung. Kolumnis kelahiran Manhattan, New York dengan perangainya yang humoris berhasil membukukan sebuah catatan penting akan sebuah proses lahirnya sebuah ideologi negara. Saya hanya bisa membayangkan sebuah scene. Seorang Orator, Bapak Negara. Dengan sebuah romantisme dan kecintaanya pada sebuah negara bernama Indonesia. Pemikiran yang mendalam. Tentu, ucapan dan ceritanya akan menggebu. Dan seorang Cindy Adams beruntung untuk bisa mendengarkan secara langsung sebuah proses dari sejarah.

"Malam itu aku menggali. Menggali di dalam ingatan ku (ingatanku). Menggali didalam ciptaku. Menggali didalam khayalku. Apa yang terpendam, di dalam Bumi Indonesia ini. Agar supaya, sebagai hasil dari penggalian itu, dapat dipakainya sebagai dasar negara Indonesia yang akan datang. Sudah terbukti, bahwa Pancasila, yang saya (Soekarno) gali, dan saya persembahkan kepada Rakyat Indonesia, bahwa Pancasila adalah benar-benar satu dasar yang dinamis".

Cuplikan teks tersebut adalah pidato Soekarno di depan Dokuritsu Zunbi Tyosakai (BPUPKI) saat ia mendapatkan giliran untuk mengemukakan gagasannya tentang sebuah dasar Indonesia Merdeka pada 1 Juni 1945. Sidang yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 ini guna menjawab sebuah pertanyaan dan kesiapan Indonesia menuju kemerdekaan. 5 prinsip dasar negara. Anda dapat membaca salinan teksnya lengkap disini dan melihat rekaman sosok yang sangat inspiratif dan keteguhan hatinya di bawah ini.

Dan 'angka keramat lima', mulai dari pemikiran seorang Muhammad Yamin, Dr. Soepomo dan Ir. Soekarno lah yang kemudian diterima oleh BPUPKI menjadi konsep akan sebuah dasar negara. Proses perumusan berulangkali yang kemudian sampai dengan Rumusan IV yang lebih dikenal dengan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Disini BPUPKI teokratis dan sekuler seperti terbelah. Rumusan pertama inilah yang disebut dengan kesepakatan para pendiri bangsa.

Namun belum final. Gagasan Soekarno yang pada awalnya memang menempatkan Kebangsaan sebagai urutan pertama dan Ketuhanan dalam satu bentuk plural dimana di dalam pidato secara singkat dikutip sebuah kemajemukan dan kebebasan dalam memeluk agama, "sedikit berubah" menjadi permintaan sila pertama untuk menuju Indonesia yang bersyariat Islam.

Bahkan bersandar pada Rumusan IV, di Rumusan V, cikal bakal Pancasila masih berbunyi seperti dibawah ini:

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Sampai dengan 17 Agustus 1945, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, di atas adalah rumusan Pancasila yang baku yang sejatinya akan diperkenalkan pada 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara.

Alexander Andries Maramies.

Bersama dengan beberapa perwakilan dari Maluku, Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan, A.A Maramies mengemukakan kegelisahan dan keberatannya tentang sebuah  kewajiban melakukan syariat Islam. Indonesia adalah sebuah kemajemukan. Dan gubahan ini pun pada akhirnya diterima meski pada awalnya mendapat penolakan dari beberapa tokoh Islam seperti Teuku  Haji Muhammad Hasan, Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo.

Kembali, kita hanya kini bisa membayangkan. Sebuah proses mengalahnya satu keyakinan terhadap keutuhan dan cikal bakal sebuah Bangsa. Rumusan ke VI PPKI pada akhirnya berbunyi sebagai berikut. 

  1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  3. Persatuan Indonesia
  4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tunggu dulu. Masih berbeda dengan versi yang sekarang ini?

Kita, Bangsa Indonesia masih melalui (banyak) sejarah. Kependudukan NICA yang pada akhirnya menghasilkan Republik Indonesia Serikat (RIS).  Perubahan Konstitusi saat Republik Indonesia Serikat bergabung dengan Republik Indonesia Yogyakarta, dan melahirkan Undang Undang Sementara. Peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengembalikan Undang Undang Dasar 1945 sebagai Dasar Negara. Rumusan demi Rumusan, dan kalimat demi kalimat. 

Sampai pada Rumusan XI atau Kesebelas.

Sedikit yang mengetahui, justru baru pada Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) inilah kita mengenal Rumusan Pancasila seperti yang dikenal sekarang ini. 

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Buah pemikiran yang pada awalnya merujuk pada masa pemikiran Soekarno pada tahun 1934 sampai dengan 1938 di pengasingan nya di Ende, Flores. Proses panjang Sejarah. Sampai dengan perumusan kalimat yang final pada tahun 1978. Lambang Burung Garuda sendiri. Yang konon terinspirasi dari Lambang Kerajaan Samudra Pase, Garuda Wisnu, dan bahkan perisai yang terinspirasi dari lambang negara Rumania? 

Penulis  pernah melihat sendiri dan beberapa tahun yang lalu menulis artikel saat melihat sebuah 'kemiripan' tentang perisai yang terdapat pada Lambang Garuda Pancasila kita. Bukan di Rumania, melainkan disebuah Kota sejarah tua Krakow, Polandia, Inspirasi tentu bisa datang darimana saja kan? 

foto pribadi yang didapat di bukit Wawel, Krakow Polandia. Tidak mirip apabila dibandingkan dengan perisai pada Lambang Burung Garuda ; sumber pribadi
foto pribadi yang didapat di bukit Wawel, Krakow Polandia. Tidak mirip apabila dibandingkan dengan perisai pada Lambang Burung Garuda ; sumber pribadi
Anda, saya dan kita. Melalui sebuah proses panjang tentang sebuah Ideologi Negara bernama Pancasila. Negara yang baru saya disebut di atas, Polandia, menyebutkan bahwa Pancasila adalah satu bentuk ideologi utuh yang dapat menjembatani berbagai prinsip bernegara dan beragama. Lambang Negara yang bahkan terinspirasi dari Kerajaan Islam, perlambang mahluk mitologi peradaban Hindu Jawa dengan masih membawa Bhinekka Tunggal Ika. Berbeda beda tetapi tetap satu juga. 

1 Juni 2017, Presiden Jokowi. Saya Indonesia, Saya Pancasila  

Presiden Jokowi dengan Pekan Pancasila mulai tanggal 29 Mei 2017 sampai dengan 1 Juni 2017 ini mengajak kita untuk mengingat kembali sejarah panjang tadi. Merenung kembali untuk sebuah semangat Pancasilais yang sempet rada terasa hambar dan kabur pada pita yang bertuliskan Bhinekka Tunggal Ika. Berbeda beda tetapi satu jua. Lelah akan situasi yang akhir-akhir ini sering memanas jujur membuat saya subyektif dengan mengatakan bahwa Pidato dan Tema yang berusaha diluncurkan oleh Presiden Jokowi, terasa kurang gregetnya.

Kembali membayangkan, apa yang dibayangkan oleh Soekarno di bawah Pokok Sukun tadi. Apakah 5 batang pohon yang kemudian menjadi satu itu terbayangkan patah oleh Soekarno?

Itu bukan lagi tugas Beliau. Itu menjadi hak dan tanggung jawab kita untuk mencari tahu. Bagaimana nanti dan kelak ke depannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun