Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kebebasan Pers di Era Jurnalisme Warga: Hajar dengan Elegan

4 Mei 2017   16:37 Diperbarui: 3 Mei 2021   07:58 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Berpikir Kritis Di Masa Kritis : Peran Media Mempromosikan Kedamaian Dengan Masyarakat Yang Aktif dan Terbuka.

Tema Aliansi Jurnalis Indonesia ( AJI)  kali ini  didalam World Press Freedom Day WPFD 2017 'sedikit' lebih menyenangkan dari pada pada 2016 lalu. Masih teringat jelas di mana "Beda Itu Hak" adalah satu yang di gaungkan oleh AJI yang (sepertinya) mempromosikan hak dan lagi lagi hak bagi Warga Negara Indonesia untuk mendapatkan informasi sesuai dengan minat yang dimiliki. Entah sengaja atau tidak, seperti akan dibuat menyambung dengan tema pada 2015 tentang Hak Asasi Manusia.

Bagai buah simalakama, AJI tahun lalu seperti melupakan beberapa hal yang sangat fundamental. Jangan melulu hak yang dibicarakan, namun juga bentuk kewajiban itu perlu. Dan terimakasih untuk segala penuntutan hak yang diminta, sepertinya, Jurnalisme Indonesia menjadi sedikit 'kebablasan' dari 2015 sampai dengan 2017 ini.  Chaos, pertikaian, adalah 'sumber' berita. A bad news is a good news. 

Dulu, setidaknya hanya laman berita resmi dan surat kabar lah yang berfikiran seperti ini. Dan jurnalisme warga bersifat sebagai penyeimbang, bumbu, dan terkadang siap mengejutkan dan menghajar diluar garis garis  baku laman berita resmi.  Sisi mengedukasi dan pandangan atau opini yang tentunya mewakili apa dan siapa penulisnya menjadi karakter cadas Jurnalisme Warga. Tetap memperhatikan koridor yang baik, dengan sebuah tulisan yang bisa berdasarkan data dan analisa menyangkut tren( berita)  yang ada. 

Netral atau tidak netral, miring atau tidak, kehausan warga akan sumber informasi tidak cukup dipuaskan dengan media mainstream saja. Jurnalisme Warga menjadi satu pencarian lain, dan ada masanya dimana bisa memberikan liputan yang baik dan benar sesuai koridor meski bukan jurnalis sesungguhnya dianggap menjadi sebuah pakem tak tertulis yang masih ditaati. Tak peduli seberapa bengalnya anda sebagai seorang penulis, atau peliput. 

Kini dengan 'menghangatnya' iklim politik yang tak berkesudahan, hak untuk mendapatkan informasi seperti gaung AJI pada 2016 lalu seperti menjadi blunder.  Saat seseorang merasa bahwa di negara Demokrasi Pancasila adalah haknya untuk mendapatkan informasi sesuai dengan minatnya, ya sudah barang tentu informasi yang disediakan atau hendak disebarkan tetap pada koridor yang mengacu pada Demokrasi berbasis Pancasila. Ini koridor dan kewajiban yang tepat.

Masa ada sekelompok orang yang tidak percaya pada Demokrasi, dan juga Pancasila, ikut menggunakan koridor ini untuk memperluas jaringan mereka? Lucu kan? Dan beberapa malah mendorong 'kebebasan' ini untuk menguatkan situs situs radikal dan semi radikalis yang ikut merongrong keutuhan NKRI. Di sisi sebaliknya, ada juga beberapa yang seolah oalah menyokong Pemerintahan terkait, namun gamblang keberpihakan dan 'kacamata kuda' yang sama saja dipergunakan.

Ada Religious Bigotry, namun ada pula Political Bigotry. 2014 sampai dengan 2017 ini,  cukup muak rasanya untuk berusaha menjadi netral dan tidak waras. Dan sayangnya, iklim tidak sehat di Indonesia menjadi ladang bagi mereka. 

Minta hak gak mau kewajiban, itu namanya perongrong demokrasi. Dan sayangnya, sepertinya ini yang luput dari perhatian AJI. Pertimbangan kebebasan yang lebih 'membumi'. Lebih sesuai dengan nuansa Indonesia , karena mau seberapa bebas kita melangkah, jati diri kita tetap Indonesia. Bukan melulu saya berhak dan bebas untuk melakukan apa aja.

Bahkan pelantun lagu Bebas pun kini sedang terancam masuk bui kan? Gara gara 3 linting ganja. Apes kan?

Jurnalisme warga dari blog keroyokan dan cuitan di burung biru kembali ke format yang lebih oldskool. Status Facebook melalui laman seringkali menjadi tautan akhir akhir ini. Lupakan perang meme yang lucu dan ( kadang ) vulgar itu. Facebook yang semula  ramah, lucu , dan sarat reuni ini ( seriusan, capek ikutan reuni gara gara Facebook ! )sudah sempat ditinggalkan jadi ramai lagi menjadi 'ajang' pembantaian pandangan ( konon) religius dan politik. Saya pribadi sebetulnya berpikir ini suatu kemunduran dalam era jurnalisme warga.

Budaya unfriend dan unfollow jadi menguat.  Hanya karena sebuah 'status' yang bahkan bisa mengancam keutuhan NKRI ? Apa sebegitu 'rendah'nya kita di era keterbukaan informasi? Tak perlu lagi memberikan pandangan dalam sebuah konsep tulisan yang njlimet dan disertai pemikiran panjang. Cukup nyetatus, dan itu sudah mewakili pandangan dan era keterbukaan saat ini ? Bisa ya, namun  apabila anda setuju dengan rebound balik dari tema Kebebasan Pers kali ini dimana Berpikir Kritis di Masa Kritis jadi sebuah acuan penting, maka ijinkan saya bertanya baik kepada diri sendiri atau pada pembaca artikel ini.

Apakah anda sudah muak, dengan persiteruan yang ada antara beberapa kubu saat ini ? Begah, karena keramah tamahan 'informasi' saat ini didominasi oleh religious bigotry dan political bigotry? Jeleh dengan ketimpangan dan isu SARA yang sepertinya menempatkan Indonesia kembali ke masa berburu dan meramu? Dimana bahkan kalau anda mau ngedate cukup dengan mentung si cewek dengan gada dan menyeretnya ke gua? 

Atau lebih jauhnya, anda, kita, yang juga orang tua, was was dengan nasib bangsa ini yang bahasa gaulnya dikilik terus menerus sehingga proyeksi gedein anak anda nantinya semakin bingung arahnya? 

Kalau memang iya, dan sejatinya saya atau anda adalah bagian dari silent majority di Indonesia, mari kita sudahi bersama sama hal seperti itu.  Kita pergunakan jurnalisme warga untuk 'menghajar' konten konten tersebut dengan suara yang positif. Bersandar pada Demokrasi Pancasila, dan tentu demi keutuhan dan kebesaran NKRI. 

Status di laman Facebook? Itu seperti sekedar buih di lautan, atau ombak yang terlihat cantik. Bisa kecil, bisa besar dan menggulung dan bahkan bisa menjadi Tsunami. Tapi ya ibarat lagu sekarang sekedar "One Time Hit" aja. Sementara buah pemikiran berupa tulisan?  Sejak manusia menemukan cara untuk melukis di dinding dinding gua, entah itu cerita tentang perburuan dan ritual menghormati hasil dari buruan itu sendiri sebagai satu bentuk ucapan Syukur ; entah kepada bentuk Illah atau apapun pada saat itu, prasasti itu akan sulit untuk hilang.

Demikian juga dengan ilmu yang baik. 

Jangan bicara susah susah deh gimana caranya dapet tiket ke surga. Mulai dari ilmu yang tidak terputus dan bermanfaat dulu aja. Simak ya 'hiburan' dari Dua Petaka Membawa Bencana ini. Ndasmu, Ji ! Nggugah Macan Turu 


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun