Terlebih di bumi Indonesia sendiri. Pancasila dengan Bhinekka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua yang diambil dari Bahasa Sansekerta adalah satu rumusan yang bertujuan merekatkan. Para Founding Fathers Indonesia yang duduk bersama.
Bagaimana terbayang peliknya situasi saat BPUPKI berusaha merumuskan Pancasila. Mereka yang rela menghilangkan tujuh buah kata dari sila pertama " Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai satu bentuk konsekuensi utuh bernegara dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. Bahkan agama sekalipun.
Tanpa terkecuali. Dan dari rumusan tersebut, lahirlah Pancasila yang sampai dengan saat ini masih menjadi satu kekuatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan Indonesia pun bukan tanpa sejarah, dimana upaya untuk mengIslamkan Indonesia pun selalu hadir dalam gerakan separatis pada waktu itu. Ingat Kartosoewirjo dan Kahhar Mudzakar? Sebagian menyebut mereka sebagai pemberontak. Makar terhadap Negara.
Namun sebagian kecil banyak yang menganggap mereka sebagai pahlawan. Mereka seperti lupa akan sejarah saat Pasukan Siliwangi yang terkatung-katung harus berhadapan sendiri dengan Gerombolan Kartosoewirjo saat perjalanan kembali ke Jawa Barat.
Memahami gerakan Khilafah Islamiyah di Indonesia? Sebuah tamparan keras yang sedikit lucu, sebenarnya. Dimana para penggiat Khilafah Islamiyah di Indonesia pada saat ini merasa anti dengan sistem demokrasi (Pancasila) namun selama ini mereka pun ikut menggunakan kebebasan di dalam demokrasi sebagai satu kendaraan untuk menyebarkan pola pandang tersebut. Dan semakin rumit dimana satu golongan yang mendorong Kekhilafahan harus berhadapan dengan masuknya faham yang lain dari Saudi, dan juga Islam yang lebih dahulu telah berasimilasi dan hidup bersama sama melebur dengan kultur masyarakat Indonesia pada umumnya yang sarat dengan budaya.
Kompleks dan menggelikan sebetulnya. Tanpa senyum di wajah tentunya.
Islam, masuk ke Bumi Nusantara bukan melulu seperti yang diajarkan oleh sejarah. Hanya melalui perdagangan saja. Tujuan utama adalah dakwah memang benar adanya. Merekalah yang pertama masuk ke Indonesia. Sinkretisme, peleburan terhadap kultur dan budaya setempat menjadi satu strategi dakwah yang secara cepat populer, dimana aliran Kapitayan, Buddha dan Hindu pada saat itu masih mendominasi.
Bukan tanpa cacat atau peperangan. Namun strategi 'halus' lebih diutamakan, terutama di Tanah Jawa. Wali yang ada di seluruh penjuru Nusantara bukan hanya Walisongo. Namun nama Wali Songo lah yang menjadi tonggak, dimana Masjid Agung Demak menjadi satu prasastinya. Orang Jawa pun menerima Islam secara perlahan-lahan. Dengan tidak meninggalkan budaya yang tanpa sudi diketahui oleh mereka yang tak mengerti, sejatinya sudah Islami sejak dulu tanpa ajaran Islamnya sendiri.
Brahma, Abraham, Ibrahim.
Namun jangan salah. Bahkan di awal mula penyebaran Islam yang dianggap 'melebur' dengan kearifan lokal, sejarah tentang eksekusi Syech Lemah Abang atau lebih dikenal dengan Syech Siti Jenar karena dianggap 'menyimpang' atau lebih dalamnya dikhawatirkan dapat mempengaruhi umat yang saat itu masih labil pun menjadi catatan sejarah. Saat itu ajaran Syech Siti Jenar Manunggaling Kawulo Gusti dianggap dapat menyesatkan masyarakat.
Ia adalah seorang Sufi. Makrifat, yang tentu saja sulit untuk dimengerti bagi mereka yang masih belajar syariat. Islam (Jawa) yang dianggap banyak Bid'ah nya, ternyata pun masih menganggap ada yang lebih Bid'ah.