Sebuah signage yang bertuliskan PT. TVS Motor Company Indonesia menyambut kami di gerbang 'kawah Candradimuka' dimana sederetan sepeda motor yang kami pergunakan untuk event TVS Joyride bersama Kompasiana di produksi . Beberapa petugas keamanan dengan ramah menyambut rombongan dan mempersilahkan kami untuk memarkir sepeda motor di areal didepan apa yang kemudian diketahui sebagai training center dari komplek manufakturing ini.
Usai makan siang singkat dan  sholat, kami yang memang sudah terlambat datang akibat macet berkepanjangan di Jakarta pun segera bergegas untuk memasuki areal manufakturing guna mengikuti factory tour yang memang sudah diskedulkan untuk rombongan.Lambang kuda berlari berwarna merah menyala tampak mencolok mata di siang hari yang cukup terik itu. Tur pun dimulai di area selasar, dimana beberapa unit sepeda motor sengaja di display disana dan cerita tentang founding fathers TVS berada di sana.Â
Sejarah Panjang Manufakturing Roda Dua India.Â
Industri manufakturing sepeda motor bukanlah hal baru bagi India. Sejarah manufakturing mencatat bahwa pada tahun 1955, Madras Motor bekerja sama dengan lisensi dari Royal Enfield, Inggris untuk membuat varian Royal Enfield Bullet 350 cc untuk jajaran unit kendaraan polisi dan tentara India. Pada tahun 1960 seluruh komponen sudah benar benar buatan India 100 % dan bahkan pada saat itu Royal Enfield Inggris pun banyak mengimpor parts buatan Enfield India untuk keperluan mereka. Saat ini jajaran motor Royal Enfield terbaru yang berada di pasar internasional adalah buatan India. Ini kita baru bicara satu jenis motor ya? Belum lagi apabila kita bicara tentang Bajaj, yang juga memproduksi Vespa dengan lisensi dari Piaggio Italia sejak tahun 1961.Â
Apabila kita bicara tentang TVS grup sendiri ? Sang Founding Father T.V. Sundram Lyengar membentuk divisi usaha yang pada saat itu fokus di perusahaan otobus berjadwal pertama di India pada tahun 1911. TVS Motor Company sendiri yang merupakan divisi manufakturing roda dua dan komponen mereka berdiri sejak 1978.Â
BMW ' Spicy' Rasa India ?
Saat kita bicara tentang sejarah manufakturing, kita bicara tentang satu konklusi : know how yang mendalam di Industri . Terlebih, saat ini BMW pun memproduksi varian roda dua terbaru mereka, BMW G310 R di fasilitas TVS Motor Company di India.  Sebuah kerjasama yang boleh dibilang sangat serius dan tak main main untuk menyandang dua nama besar BMW dan TVS sendiri.  Industri manufakturing yang dahulunya seperti 'perkasa'  di Jerman memsang sudah harus berpikir ulang apabila ingin menyandarkan industri mereka hanya dipekarangan mereka sendiri di Eropa.  Manufakturing secara umum banyak yang sudah memindah fasilitas produksi mereka ke Eropa timur seperti Polandia , Hungaria , Bulgaria dan yang lain. Semua karena faktor feasibilitas biaya produksi.
Dan tentunya tak hanya sekedar biaya manufakturing murah saja yang mereka incar, namun saat melakukan apa yang dinama kan kontrak produksi atau bahkan teknologi transfer, hal terkait pengalaman, dedikasi dan juga kontrol akan kualitas menjadi satu ukuran yang tak dapat di nego ulang. Saya  dapat membayangkan, bagaimana demanding nya BMW saat penjajakan kerjasama dengan TVS Motor Company. Dan kenyataan yang ada ? Produk mereka pun pada akhirnya dibuat disana.
Fasilitas yang mempunyai kapasitas produksi sebesar 300 ribu unit kendaraan ( per tahun ? ) ini memang terlihat belum maksimal. Â Area Research and Development menjadi satu yang menarik perhatian. Dimana beberapa unit kendaraan di tes dengan berbagai alat yang seolah olah menggambarkan kondisi asli di jalanan untuk melihat ketahanan dan kualitas dari barang yang mereka produksi.
Seorang Penantang di Pasar Dominan
Sederetan catatan di papan yang menuliskan masukan dari pasar  dan pengguna tentang produk mereka, letak kekurangan, dan tahapan perbaikan mutu yang tengah mereka lakukan melalui proses trial and error, departemen metalurgi menjadi satu catatan penting keseriusan mereka. Di line up pre assembly pun tak terlalu tampak sebuah kesibukan manufakturing. Demikian pula dengan areal Asembling . Painting dan lainnya. Tak ada robotik. Hanya sebuah ban berjalan dengan tenaga manusia dengan air tools yang terhubung . Â
Meski telah menggunakan 65 % lebih komponen lokal untuk produk sepeda motor mereka,  nampaknya TVS Motor Company masih harus berjuang lebih keras lagi untuk bertarung di pasar sepeda motor lokal yang  pada 2015 lalu 70 % telah didominasi oleh produk Honda dan juga di ceruk pasar ekspor dimana mereka ipun bermain. Terlebih lagi dimana produk diferensiasi mereka dengan para pemain pasar yang lain pun tidak terlalu kentara.Â
Ok, apabila kita bicara tentang produk dan perbandingan head to head dengan  produk dari pemimpin pasar, bicara kualitas memang tidak kalah atau bahkan beberapa bisa dibilang lebih unggul. Saya bicara tentang value for money product.  Mari kita jujur blak blakan bicara performa. Arah angin awam yang semula selalu mengunggulkan produk dari sebuah atpm Jepang ( meski sebenarnya produknya asal asalan kualitasnya) apabila sudah merasakan tentu akan berbicara lain. By the way, anda sudah pernah melihat bentuk TVS Draken 250 yang jadi inspirasi TVS Apache RTR 200 4V ? Anda bisa simak di link disini
Kontinuitas dan Konsistensi
Di artikel saya sebelumnya disini saya 'sempat' mencoba mengulas satu varian produk dari TVS yakni Apache RTR 180. Sayangnya penilaian tersebut saya anggap gagal karena unit tersebut yang disediakan untuk tes ride rombongan TVS Joyride Kompasiana saya anggap kurang laik jalan. 1 Unit dari sekian banyak memang sebetulnya apabila kita berusaha 'santai' menanggapinya memang tak seberapa. Tapi apabila saya sedang memakai kacamata rese' untuk penilaian mungkin saya akan bicara : " Bro, TVS Dewi Sartika sepertinya belum sibuk sibuk amat deh. Lalai scruting 1 unit yang kurang laik jalan itu secara gak langsung menggambarkan kinerja purna jual"
Karena orang yang sudah susah payah berusaha membuat motor tersebut, dan lagi lagi sederetan orang yang sudah bersusah payah berjibaku memutar otak bagaimana menjual produk tersebut ke pasaran  ( dan meyakinkan pasar ) pada akhirnya akan kalah dengan layanan purna jual yang kurang greget. Ini adalah satu proses berkesinambungan.Â
Sesaat sebelum usai di sesi kunjungan manufakturing, beberapa dari kami  bertemu dengan rombongan President Director TVS MotorCompany Indonesia , V Thiyagarajan. Beliau yang didampingi oleh Subramanian ( Head of Factory ) dan Pak Erwin Hadi ( Head of HR ) menyapa dengan ramah kepada rombongan. Menyalami kami satu persatu dan bertanya secara langsung : " How was the visit and what do you think about our factory ? "
Mereka Mendengarkan, dan Masa Depan
Saya pun tidak menjawab dengan kesan tentang fasilitas manufakturing sendiri melainkan dengan sebuah pertanyaan : Kapan TVS 450 masuk ke Indonesia dan mengapa TVS Motor Company Indonesia tidak memulai memproduksi sepeda motor listrik ? Diskusi pun berlangsung menarik, karena melihat kapabilitas produksi mereka dan juga ceruk pasar ekspor yang mereka garap, mungkin sepeda motor listrik bisa menjadi satu alternatif untuk memasuki ceruk pasar yang menarik.
Sebagai contoh Vietnam. Pasar sepeda motor listrik di Ho Chi Minh dan Hanoi cukup besar. Kita tidak bicara tipe motor listrik seperti halnya produk Zero, tetapi sebuah ceruk pasar alternatif yang lebih ke varian scooter. Di Indonesia yang sudah semakin pengap dengan polusi yang dihasilkan oleh kendaraan beromotor sepertinya sepeda motor listrik bisa menjadi satu varian menarik, apabila dipasarkan. Thiyagarajan pun memberikan satu jawaban yang melegakan, bahwa sejatinya TVS pun sudah mempunyai platform sepeda motor hybrid yang sudah mereka kembangkan. Masalah infrastruktur pengisian? Mereka sudah berbicara dengan pihak pemerintah, hanya sebagai penantang di pasar lebih baik menunggu ketimbang menjadi yang pertama untuk memulai.
Joe Taslim, aktor laga yang merupakan brand ambassador dari TVS Apache RTR 200 4V sebetulnya juga berada di lokasi saat rekan rekan Kompasiana melakukan kunjungan Pabrik. Namun keterlambatan kami  membuat kami tak bisa bertemu dengannya. Tak mengapa. Karena bagi saya secara pribadi sosok Joe Taslim tidaklah terlalu penting. Yang pertama, dia jelas cowok. Ngapain kudu ketemu cowok lagi cowok lagi ? Flair marketing bukanlah tujuan kami riding kali ini. Kalau dia ikutan riding, bolehlah kalau dia mau berfoto bersama kami.Â
Itupun kalau dia minta baik baik lho ya....Â
Salam Joyrider ,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H