Tidak.
Saya tidak sedang berbicara tentang Legenda Suku Apache, penduduk asli Amerika yang berjuang keras melawan invasi Meksiko dan Spanyol. Tidak pula sedang membahas Geronimo, sang pemimpin Apache yang militan dan terkenal dengan keberanian nya berperang, serangan tiba tiba dan juga kemampuan spiritualnya. Atau bahkan berbicara tentang bagaimana Suku Apache percaya, bagaimana mereka yang terpilih bisa merubah diri menjadi elang, serigala, kuda dan binatang binatang yang melambangkan keberanian dan keperkasaan.
Bukan itu.
Namun boleh bicara jujur, bahwa bawah sadar psikologis akan mengaitkan hal hal yang agresif, berani, gesit, saat kita melihat atau ekspektasi sebuah produk yang bersandar pada 'nama besar' Apache sendiri. Â Seperti halnya beberapa pekan lalu saat melihat sebuah 'ajakan' bergabung TVS JoyRide Event yang diadakan oleh Kompasiana bersama TVS Motor Company Indonesia di laman sosial media Facebook milik seorang rekan admin Kompasiana ( Sebut saja ia Kevin :) ) yang meski belum pernah tatap muka cukup untuk tahu bahwa ia adalah seorang 'biker by heart'.
Bukan biker kepepet seperti halnya kebanyakan orang yang  akan rela menukar kuda tunggangannya untuk sebuah 'kenyamanan' subyektif roda empat.Â
Disini kita bicara tentang sebuah dunia, kecintaan , rasa dan roso seorang biker dan yang lain. Bicara tentang romantisme angin yang menampar wajah. Tentang sebuah senyum lepas saat stres sehari hari menempa dan yang anda inginkan hanya meraih kunci sepeda motor anda , mendengar knalpotnya menyalak dan segera meluncur di jalan raya, atau bahkan di  jalan tanpa aspal sekalipun!
Dunia yang dahulu di dominasi oleh para cowok, sekarang ini sudah banyak ladybiker yang terlihat. Mencintai bau bensin yang luber di gastank lebih dari parfum merk terkenal. Ini juga tak lepas dari geliat dunia otomotif modifikasi roda dua di Indonesia yang semakin menyenangkan. Tak perduli apa aliran atau kesukaan anda. Mau motor sport, klasik, retro, vintage, enduro, trail,caferacers, japstyle, drag atau apa saja. Tak masalah. Kita semua berada diaspal ( atau bahkan non aspal ) yang sama.
Uncover The Racer In You.Â
Tagline menantang dan nendang  dari TVS Apache 200 RTR pun jadi trigger  ego tersendiri. Sebagai seorang Pestoler ( Pemuda Stok Lama) yang punya tampang tua tapi hati tetap membara, ini jelas menarik.  Lebih lebih memang ada niat di hati untuk nambah tunggangan di rumah yang  (sekarang) tanpa boncengan sehingga sedikit sulit untukmenularkan hobi roda dua ini ke anak.  Sebuah motor adventure yang 'nakal'dan berkarakter yang dicari. Dan pertimbangan ekonomis tentu jatuh pada pilihan injeksi, karena bicara teknologi, untuk pemakaian harian teknologi karburator sejatinya udah cukup teramat mentok.
Lebih asik ngoprek ECU atau piggyback saat anda pengen modif sektor mesin ketimbang harus ribet nyari setting yang tepat di karbu. Belum lagi bicara efisiensi bahan bakar. Dan TVS Apache 200 RTR 4V yang belakangan baru saya tahu menggunakan sistem injeksi  dari Bosch sudah mewakili disini.Â
Alhamdulillah,gayung pun bersambut dan pendaftaran yang di ajukan pun disetujui oleh Kompasiana sehingga bisa ikutan menjajalTVS Apache di habitat yang mumpuni, bukan sekedar kunjungan di diler terdekat di Semarang.
 Dengan sebuah  catatan, gak begitu tertarik untuk menjajal kemampuan varian motor bebek atau matic mereka. Sebuah pendapat subyektif yang memang berdasar pada sebuah kecintaan 'meremas'  kopling dan postur tubuh yang lebih mirip beruang sirkus ketimbangbalerina ternama. Jadi ya kudu sadar diri juga kan ? Gak boleh maksa.Â
Selama 2 hari perjalanan di tanggal 23 -24 Agustus yang lalu, ada 2 varian dari TVS yang berhasil dijajal kemampuannya. Saat kami berkumpul dan diberikan briefing singkat , memang mata selalu melirik nakal  ke TVS Apache 200 4V. Memang itu inceran nya. Namun untuk bisa lebih obyektif dalam memberikan penilaian, ukuran CC yang 'sedikit' lebih kecil pun dirasa wajib menjadi sebuah referensi awal.  TVS Apache RTR 180 menjadi sesi awal test ride ini
Perjalanan dari Dealer TVS Dewi Sartika menuju ke pabrik TVS di kerawang secara subyektif di gambarkan seperti 'neraka' , Kostum jaket safety riding yang sedikit kekecilan, helm full face yang mencekik leher ( dan pipi ) , panasnya udara Jakarta dan kemacetan  terlebih sempat terpisah dari rombongan bikin enggak nyaman.
Yang lebih kurang menyenangkan lagi justru datang dari unit test ride nya sendiri. Disini gak akan bisa fair untuk memberikan penilaian karena kesiapan unit test ride Apache 180 yang ala kadarnya tersebut. Â Seorang biker harus mampu mengenali tunggangannya, baik dengan kelebihan maupun kekurangannya, dan disini saya justru gagal melakukannya. Â Apache 180 yang dicoba bukanlah yang terbaik kondisinya. Pengendalian ,sistem suspensi yang liar,sistem pengisian kelistrikan yang trouble pun menjadi sebuah catatan.
 Saya yakin,  sebetulnya bukan inilah karakter sebenarnya dari sebuah TVS Apache 180,tapi sebuah catatan penting untuk TVS Motor juga karena 'sensasi' berkendara inilah yang terpatri di kepala saat ini : Unit yang minim maintenance dengan kemampuan yang penuh dengan 'tantangan'.
 Wahini yang ditunggu tunggu.Â
Unit berwarna abu abu matte yangi kekinian dan galak ini menyenangkan. Suspensi dan handling yang baik, akselerasi dengan 'grunt' yang seru.Â
Sebagai catatan, TVS Apache RTR 200 4V ini memberikan moda pengaturan pemberitahuan pemindahan  gigi , atau bahasa jawa koek keren nya lebih dikenal dengan kata shift light sesuai dengan karakter pengendara nya. Denan kata lain, kita bisa utak atik sedikit setting shift light di speedometer digital dengan cara yang mudah banget. Tetap mengikuti pakem tentunya, yang tidak membiarkan kita'menyiksa' mesin secara berlebihan.
Ini berkaitan dengan performa, akselerasi dan tentunya efisiensi bahan bakar. Asikkan?
Sejatinya,motor 'lanang' yang mewah dan bahkan berani memakai Pirelli Street Demon dengan grip ciamik sehingga bikin kita semakin berani rebah saat cornering ini jadi unggul apabila tidak terkendala  di dua hal . Gak tau kenapa, bahkan di unit yang tergolong baru sekalipun ini untuk memasukkan gigi posisi netral sangat sulit. Sepertinya anda harus benar benar berperasaan halus atau entah bagaimana cara nguliknya ?
Hal yang kedua, posisi tungkai persneling dan rem belakang di kaki yang sejajar cukup membuat kaki pegal. Ini adalah posisi standar yang aneh, mengingat gaya street fighter bin adventure dan tinggi dari Apache RTR 200 4V sendiri. Tidak ergonomis dan lupakan kata sporty, dynamic atau bahkan trendi.Â
Dengan segala kelebihan lain yang diitawarkan, kenapa membatasi disini ?Â
Bahkan raungan knalpot yang sudah dibekali dengan konverter katalis gas buang sebagai standar emisi rendah namun tetap empuk suara ngebass berkarakternya pun sudahdisematkan. Kenapa posisi tungkai persneling seperti  era motor 80'an ?
Perjalanan menuju resor tempat rombongan pun dirasakan cukup menyenangkan, meski dengan kekurangan tersebut yang menyebabkan kaki berulangkali harus di luruskan ataumengatur posisi kembali untuk mendapatkan 'pewe' alias posisi wenak di bagian telapak kaki yang berbalut Converse all black leather.
Mata tertuju pada Apache RTR 200 4V yangsebelumnya dipergunakan oleh Tim Equatorrad Indonesia di perjalanan menujuTimur Indonesia. Ban dual purpose Swallow SR 117Â menggantikan Pirelli Street Demon. Gear merah menyala dari Sinnob dan stang model fatbar lengkap dengan riser pun menempel kokoh. Â Dan yang jelas, posisi tungkai persneling dan rem belakang yang sudah diganti dengan aftermarket.
Jelas lebih ergonomis dan keren !
Beberapa rekan Kompasianer yang telah menjajal beberapa varian TVS Apache RTR 200 4V yang lain mengatakan unit yang ini justru 'kurang enak' Â terlebih pada sektor handling karena balutan karet hitam dengan profil kasar dual purpose nya apabila dibandingkan dengan grip mumpuni dari P Street Demon.
Dengan sedikit senyum dan rasa deg deg an seperti  saat anda lagi berusaha modus ke cewe yang keren, saya hanya menyimpulkan dalam hati karena justru karakter ban tipe scrambler lah yang emang saya gemari.  Lebih 'lanang', bandel,emang sedikit loose dijalanan aspal tapi itu justru unsur fun yangdidapat.Â
Dan yang jelas, saat dapet kesempatan untuk lari lari kecil di trek tanah ya mana yang lebih asik ?  Dual Purpose, Scrambler or whatever you wanna call it, I feel you, Bro. Mari kita toss tinju dan kita nikmati perjalanan ini ! Ini adalah chapter terakhir dari perjalanan kali ini dan saya harap anda belum bosan membaca tulisan ini karena kita  akan bersambung ke episode kedua dan akhir dari ulasan.
Salam Joyrider !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H