Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

WPC Akhir, A Tribute to Kampret

24 Oktober 2015   10:10 Diperbarui: 24 Oktober 2015   11:48 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mohon Koreksi, Suhu. Master Suhu, mohon keripik pedas-nya".

Saya bingung. Saat melihat komunitas berbasis dunia fotografi yang laen, kata kata diatas sering tersemat diantara komentar ungguhan hasil karya foto seseorang. Sebetulnya ini komunitas fotografi atau lagi diklat Kung-Fu ? Belum lagi 'keripik pedas' yang entah level berapa itu kebanyakan terkait flaming seputar piranti yang dipergunakan. Antara para pengguna tali merah asuhan Cak Nun dan Tali Kuning Niken Ardile.

Ini yang menyurutkan minat awalnya belajar tentang dunia fotografi. Malas interaksi dengan para suhu badan dan juga ngemil keripik pedas yang berulang kali. Sampai akhirnya, Kampret pun "terlihat" sedang wira wiri di Kompasiana.

Enggak tahu siapa yang menggagas, tidak tahu pula visi dan misi terbentuknya Kampret. " Mereka", menawarkan sesuatu yang lain. Sebuah komunitas yang memberikan satu pembelajaran secara cuma cuma, tanpa ada master suhu dan suguhan keripik pedas. Tak penting apa gear yang dipakai.  Yang penting adalah kemauan (untuk) belajar dan pertemanan. 

Weekly Photo Challenge mereka emang ngeselin. Suatu 'propaganda' terselubung. Satu pembelajaran, tanpa kesan menggurui.

Gak tau gimana yang lain merasa dengan format WPC di Kompasiana dan juga Facebook Fan Page Kampret , unsur fun yang ditawarkan mereka di dalam WPC sejatinya terstruktur rapi, tidak asal asalan.  Dari satu tantangan ke tantangan lain, belajar  tentang dunia fotografi, diskusi dan yang jelas interaksi pun terlaksana. Teknis, namun dengan bahasa yang lebih plural dan mudah dicerna.

. Satu orang tak perlu malu untuk memulai dan belajar secara otodidak di WPC, bahkan gak sadar sebetulnya sedang mempelajari dasar dasar fotografi dengan ketertarikan yang dibangkitkan secara pribadi. Ngeracunin, sebenernya. 

Bukan sesuatu yang disodorkan mentah mentah dan kita diminta mencerna dengan gagap  Itu uniknya.

Alat yang di gembol jadi nomer sekian, yang dilatih berulangkali sampe nangis dan jereng  adalah mata dan teknik kita untuk bisa 'mencerna'  satu gambar atau peristiwa didepan kita, di proses kilat  dengan otak dan sejumput  imajinasi dan di gendong teknik untuk nempatin masuk gak letak dan komposisinya ?

Kenapa sih  satu foto bisa  beda dengan yang lain, padahal objeknya sama? 

Lokasi, dengan letak yang sama persis bisa menghasilkan aura yang berbeda ? Cahaya, momen, pengaturan gear, komposisi bahkan fisik sang fotografer dan suasana hati pun jadi penentu disini. Definisi Rule of Third .  Gak cuma teknik, juga pelajaran tentang menghargai hasil karya orisinil atau otentik dari orang lain, ini juga penting. 

Didalam tubuh Kompasiana sendiri, pelajaran mengenai pentingnya memberikan rujukan referensi atas foto atau ilustrasi yang dipergunakan pun diberikan. Pelajaran menjadi seorang jurnalis- fotografer.  Pelajaran bagaimana menjadi seorang kreatif, otentik , dengan memberikan foto ilustrasi hasil karya sendiri.

Yang gak berhubungan dengan dunia fotografi sendiri ?

Selain perseduluran diatas pertemanan, cara melihat,  menerima dan minimal menghargai  sudut pandang yang berbeda pun menjadi sebuah pelajaran penting sarat makna di dunia yang semakin ruwet ini. Dimana perbedaan bukan menjadi sebuah halangan, namun sejatinya sesuatu yang bisa dinikmati. 

Angle yang berbeda beda.

Mana ada sih saat satu temen 'hampir' aja kesusahan karena kepaksa split dan akrobat di tengah rawa eh temennya malah gak nolongin tapi sibuk nyetting gear masing masing dan jepret momen itu? Ya cuma Kampret lah.  Jengkelin kan ?

Secara pribadi, menyayangkan hengkang-nya Kampret dari Kompasiana sesuai dengan artikel pemberitahuan yang bisa di baca disini.  Alasan yang dikemukakan Kampret untuk melepaskan diri dari sebuah institusi Kompasiana yang tampaknya menjadi sedikit 'kaku' dengan aturan aturan baru korporasi sejatinya sudah tepat. Mudah mudahan bisa menjadi masukan yang berarti untuk Kompasiana. 

Saya lebih menyayangkan, karena komunitas komunitas seperti ( dan tak hanya ) Kampret yang banyak memberikan kontribusi kepada Kompasiana dari sisi pembelajaran dan juga kekeluargaan ini nantinya gak lagi bisa dinikmati oleh mereka yang baru masuk ke Kompasiana. Sisi lebih komunitas ini yang 'hilang'. Kompasiana bukan sekedar deretan artikel, namun pandangan dan interaksi dari individu dibelakang artikel itu lah yang menjadi daya tariknya.

Tanpa itu, 'soul' nya  asli, seriusan, gak dapet.

Akhirul kalam, saya secara pribadi ngucapin banyak terima kasih untuk 'racun' dan yang lebih peseduluran selama ini di Kompasiana.  Di luar Kompasiana, kita tetep seduluran, Mi Casa is Su Casa alias pintu rumah saya selalu terbuka lebar untuk keluarga yang 'aneh' ini.

 

Matur suwun, Nggih, gara gara kalian hampiir aja jual rumah gara gara pengen lensa lanang ! 

Ilustrasi: seni foto gerak cepat, jalan layur semarang - foto pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun