Kota Semarang memang banyak bersolek akhir-akhir ini. Â Semenjak tampuk pemerintahan berpindah dari walikota yang terdahulu, Kawasan Simpang Lima yang dulunya kumuh tidak beraturan akibat Pedagang Kaki Lima yang membuka lapak dagangan di mana-mana sekarang bisa dibilang hampir tidak ada. Para PKL warung kuliner pun menjadi cantik dengan penertiban penyediaan tempat tempat jajan kuliner yang baik, dan lapangan Simpang Lima yang dulu bak pasar tiban saat akhir pekan tiba kini menjadi nyaman dan dapat dipergunakan kembali oleh warga Kota Semarang untuk baik aktivitas bersantai, berolah raga yang menyenangkan. Ada pro, tentu ada juga kontra. Pasukan Satpol PP terbilang aktif melakukan tugas penertibannya. Para pedagang asong tidak dibiarkan berada di seputar jalan Pahlawan sama sekali. Becak-becak yang biasa mangkal pun semakin kesulitan mencari tempat untuk mangkal di seputar daerah strategis Simpang Lima, walaupun ada beberapa tempat di mana memang khusus menjadi parkir becak, walaupun bisa dibilang kurang sebanding dengan banyaknya becak yang berada di Semarang sendiri. Beberapa waktu lalu, saya sempat hampir tiap malam menjelang pagi nongkrong bersama para beliau ini, para tukang becak yang ada di seputar Simpang Lima dan Jalan Pandanaran. Ngobrol ngalor-ngidul ditemani wedang ronde bersama mereka, tertangkap kegelisahan bahkan saat mengobrol karena kami memang sekedar nongkrong di sekitar ruas jalan protokol, bersama dengan para tukang wedang ronde yang kami panggil untuk sekedar 'ngemper' di trotoar bersama.
Becak Malam Seputar Jalan Pandanaran, Semarang
Baik dari tukang wedang ronde dan beliau para tukang becak yang beberapa dari mereka sudah cukup berumur ini, mereka mengeluhkan tindakan Satpol PP yang sangat tegas dalam melakukan tindakan ke mereka. Para tukang becak pun seringkali kebingungan, di mana mereka akan memarkirkan becak-becak mereka. Di depan hotel yang banyak pengunjung di seputar jalan Pandanaran? Tidak diperbolehkan lagi. Harus siap-siap diusir, atau bahkan diangkut sumber mata pencahariannya oleh Satpol PP apabila membandel. Pendapatan otomatis menjadi berkurang, karena sulitnya mencari penumpang. Mereka merasakan, lebih enak jaman dulu di mana mereka bebas untuk ngetem di depan hotel sehingga pendapatan dari tamu yang berkunjung pun sedikit banyak. Malam itu, sifat keminter (merasa jadi orang pintar;red) dan rasa bahagia dan bangga sebagai seorang warga Semarang yang melihat Kota Semarang yang semakin cantik harus kalah dengan rasa iba.
Tentu tidak pada tempatnya, untuk berusaha menjelaskan kepada para beliau ini bahwa ketertiban itu memang perlu.  Tidak pula pada tempatnya untuk lagi lagi keminter menjelaskan bahwa Pemkot pun sebetulnya telah berusaha memfasilitasi dan membantu mereka dengan pemberian penggantian becak motor. Belum sempat berdiskusi mengenai hal itu, bahkan seorang Bapak yang kami tuakan dengan sebutan "Mbah" di sana (walaupun beberapa yang lain seperti sepantaran juga) karena senioritas dan asam garam di dunia becak  sendiri seakan membaca pikiran saya dan menjelaskan bahwa bantuan becak motor seolah hanya 'simbolis' belaka. Diberikan di sebuah kampung di satu wilayah Semarang yang terkenal dengan kerasnya, sekedar untuk dokumentasi dan bahkan bagi mereka yang menerima pun disalahgunakan. Becak bantuan itu pun kemudian dijual, dan mereka yang menerima kembali pada realita kehidupan yang sudah biasa dilakukan.
Ada pertanyaan mengusik perihal para becak ini, yang merupakan satu dari banyak transportasi tradisional di Indonesia. Mengapa Pemkot, dalam hal ini Mas Hendi sebagai Walikota Semarang atau jajaran terkait lainnya tidak berusaha 'menertibkan' mereka? Menertibkan, bukan hanya dalam hal berusaha memberikan bantuan awal. Bukan juga berarti mereka harus berurusan dengan Satpol PP yang tegas itu. Menertibkan, dalam rangka memberdayakan mereka sebagai salah satu ikon wisata kunjungan di Semarang. Â Coba melihat dari sisi yang lain, bahwa becak bukan hanya sebuah transportasi tradisional yang harus hilang karena tuntutan jaman. Di Yogyakarta yang memang Kota Budaya, Di Solo yang juga semakin cantik becak menjadi salah satu ikon wisata kota. Dengan cat berwarna seragam yang menarik, parkiran khusus becak hampir di depan setiap hotel di wilayah wisata baik kota maupun yang lain, dan pelatihan pelatihan terpadu terhadap para tukang becak ini ditambah pengalaman dan pengetahuan mereka, becak bukanlah 'sekedar' alat transportasi, apalagi sebuah gangguan.
Dia adalah duta wisata dari sebuah kota. Yang sanggup memberikan suatu 'experience' yang lebih membumi, nikmat, dan tak jarang malah justru mampu memberikan nilai lebih saat mereka lebih faham pusat pusat wisata kuliner yang seringkali tidak terdeteksi dengan baik, oleh-oleh, atau lokasi wisata di Semarang sendiri dengan pengalaman yang berbeda. Dan saya merasakan, keputusan untuk tidak memperbolehkan mereka untuk parkir di depan sebagian besar hotel hotel di Semarang bukanlah suatu kemajuan, namun justru kemunduran. Terutama dalam hal pariwisata Kota Semarang sendiri. Mas Hendi, Mas Walikota. Saya kenal sosok Anda sebagai orang yang penuh dedikasi, disiplin tinggi dan punya kepedulian tinggi terhadap para 'wong cilik' di Kota Semarang sendiri. Tapi sulit rasanya untuk menerjemahkan bahasa kami yang lagi-lagi keminter, terlalu tinggi ini mengenai sosok dan kepedulian tanpa adanya tindakan yang nyata. Coba kita bayangkan bersama-sama. Dan saya yakin hal ini bukan sebuah ide yang baru sebenarnya. Becak-becak yang cantik berhias, dengan penyeragaman warna. Para beliau tukang becak ini yang semakin dibekali dengan pelatihan-pelatihan terkait dengan pariwisata, keamanan transportasi, atau lain hal. Tentu, dengan berbekal kemampuan mereka dan pengalaman mereka sendiri. Sematkan pin "Duta Wisata Semarang" di baju lurik mereka. Â Berdayakan mereka, yang sejatinya bukan merupakan 'nuisance' atau gangguan terhadap ketertiban, tetapi justru asset atau bahkan ikon Kota Semarang sendiri. Tentu lebih menarik untuk membayangkan, saat Kota Semarang sudah mampu memberikan fasilitas parkir terpadu dan becak-becak ini bergerak sebagai penghubung dari fasilitas parkir ke tempat jajanan oleh-oleh seperti di Jalan Pandanaran yang terkenal dengan bandeng prestonya, melihat jajaran becak yang terparkir rapi ketimbang semrawutnya parkir mobil yang mengakibatkan macet, bukan. Atau wisata di Kota Lama yang lebih menyenangkan. Acara hunting fotografi di atas becak? Kenapa tidak. Bahkan sekedar klangenan jalan-jalan.
Menggandeng Dinas Pariwisata di Semarang, pihak swasta yang mampu menjadi sponsor seperti Bank Jateng, Suara Merdeka, atau beberapa perusahaan Jamu besar yang memang based di Semarang. Â Atau mungkin yang sedikit berhubungan? Seperti perusahaan rental atau transportasi yang marak bergerak di Kota Semarang sendiri? Â Pak Tutuk mungkin tertarik? Â Atau chain hotel yang sekarang semakin marak tumbuh di Semarang? Jangan bilang bahwa mereka memang sulit ditertibkan, karena kita bakal terperangah saat mengetahui kemampuan baik komunikasi, pengetahuan dan lain hal saat ngobrol secara langsung dengan para Beliau para tukang becak ini. Â Apalagi untuk sekedar ditertibkan, pasti sangat mudah melakukannya. Toh mereka sudah punya paguyuban sendiri juga.
Jangan berikan sebuah alasan bahwa 'sudah mencoba' atau 'sudah pernah' karena konsistensi  program berbekal kemauan pun tetap diperlukan.  Saat mengubah wajah Kota Semarang yang tadinya sempat carut-marut tak tertata menjadi semakin cantik seperti sekarang ini, apa lagi yang tidak mungkin dilakukan. Faktor pariwisata, baik bagi lokal maupun para pengunjung Kota Semarang, itu yang sedikit perlu pembenahan dan pemanfaatan potensi yang sejatinya bisa lebih maksimal dimanfaatkan lagi. Berbekal manajemen yang baik, kepedulian, dan juga tentu kecintaan terhadap Kota Semarang, termasuk segala hal yang berkaitan di dalamnya. Atau mungkin ada investor yang tertarik?
Catatan : Semua foto adalah dokumen pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H