Kesalahan jalan pikiran kita saat ini pada umumnya adalah cara menyelesaikan suatu masalah.
Tak ketemu cara untuk sepakat, Â silang pendapat bahkan hanya gara gara lirik lirikan di jalan pun bisa menjadi satu sebab untuk gebuk gebukan. Â Kekerasan, sepertinya sudah menjadi salah satu "budaya" manusia. Â Kadang parahnya, menjadi suatu kebutuhan karena eksistensi. Â Sudah banyak tokoh yang terkenal sadis dan konyolnya itu karena dia malas untuk berpikir dan lebih mencari cara yang susah : kekerasan.
Ambil contoh Adolf Hitler. Orang boleh mengutuknya karena kekejamannya. Sebagian diam diam mengagumi pola pikirnya. Â Bahkan tak hanya secara diam diam, karena sampai dengan saat ini gerakan Neo Nazi pun masih cukup populer di orang orang yang masih menganggap bahwa ras Arian adalah yang terbaik.
Padahal, kalau kita ambil cara berpikir yang sebetulnya mudah dilakukan, Adolf Hitler bersusah payah agresi kemana mana hanya karena persoalan yang sangat mudah : Kebutuhan akan eksistensi. Â Karena penampilannya yang konyol, sangat susah untuk dia untuk didengar kata katanya. Sehingga apa yang terjadi? Dia butuh bersikap sadis agar didengar. Â Coba saja kalau dia mau berpikir lebih sederhana yang memang gampang , yaitu mengubah gaya rambut dan kumisnya, tentu dia tak perlu lagi menunjukkan kemarahan atau kesadisan yang tidak pada tempatnya itu. Dia lebih memilih untuk jalan yang susah. Dia memilih mempertahankan penampilan yang konyol dan mengerahkan segala teori untuk tujuan berantemnya.
Kitapun sering seperti itu. Daripada berpikir sederhana, kita akan lebih suka berantem saat seseorang melotot melihat ke arah kita. Seribu alasan kita kemukakan mengenai ketidak sukaan kita pada orang yang sedang melotot ke kita. Padahal, mungkin saja orang itu sebenarnya sedang mengagumi kacamata item kita yang baru, atau emang udah dari sono-nya matanya seperti itu.
Ada yang berpendapat terbalik. Cukup punya dua tangan, jantung , paru paru yang baik dan dua kaki yang kuat sudah cukup menjadikan seseorang itu petinju. Â Padahal bertinju sendiri memerlukan kordinasi antara pikiran, tenaga, nafas dan kemampuan berpikir yang diatas rata rata. Sangat kompleks, tidak semudah yang dibayangkan orang, bahwa itu hanya 'sekedar' melayangkan pukulan saja. Tidak percaya? Coba anda minta bantuan teman atau siapa saat ini, dan berusaha membaca artikel ini sembari kepala anda dihujani dengan pukulan menggunakan guling kecil. Â Dijamin anda akan pusing tujuh keliling dan gak ngerti apa maksud dari artikel ini.
Sudah saatnya mindset kita dirubah. Mari kita lakukan cara yang gampang saja, yaitu dengan berpikir. Berpikir dengan sederhana, dan mengena.
Kalau setiap hari kita berdo'a untuk minta dimudahkan, kenapa pada kenyataannya kita masih milih yang susah? Kalau lebih mudah untuk meminta maaf apabila salah, kenapa bersusah susah mencari pembenaran?
Kalau memang pada dasarnya kita memang memilih untuk susah,  jangan  memakai tolak ukur keberanian  disini. Itu lebih kepada unsur ego kita sendiri sebetulnya, disaat mana yang benar dan salah sudah menjadi bias. Yang penting susah.
Gak heran kalau di Indonesia dibilang masih banyak orang yang 'susah'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H