Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

I Jokowified, Are You ?

16 Maret 2014   21:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:52 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat Hari Minggu.

Pencalonan, atau lebih tepatnya bersedianya Jokowi untuk dicalonkan dalam Pemilihan Presiden 2014 yang akan datang ini menimbulkan banyak pertanyaan ( questions) dan pernyataan ( statement).

Sebagian bilang, Jokowi belum saatnya nyalon. Masih banyak pekerjaan rumahnya yang belum selesai dengan kapasitasnya sebagai seorang Gubernur DKI.  Belum selesai kok udah 'loncat' mau mengerjakan yang lain lagi. Secara gamblang dan jujur, ya itulah yang memang dilakukan oleh seorang Jokowi.  Dengan berat meninggalkan tanggung jawabnya sekarang ini mengatur satu daerah bernama DKI untuk sebuah kemungkinan lebih besar mengatur sebuah negara bernama Indonesia.

Kita masih bisa pro, ataupun kontra terhadap pilihan politik tersebut. Saya pribadi melihat DKI Jakarta bukan 'hanya' semata ujian bagi seorang Jokowi, namun permintaan Jokowi untuk sudi mencalonkan diri sebagai Presiden memang nyatanya datang dari rakyat.  Yang selama ini sudah geram dan gemas melihat bagaimana njlimetnya birokrat di Indonesia, dan tiba tiba datang seorang sosok yang merakyat dan bersama Ahok memutus rantai "tidak menyenangkan" bernama aturan aturan yang dibuat buat itu di Jakarta.

Kadang, sebagian orang menyangsikan kemampuan seorang yang 'tampak lugu' saat mengenakan jas yang sedikit kedodoran ini.  Saat para musuh musuh politiknya mencacinya dengan berbagai kata dan akusisi, dia hanya duduk nongkrong di sebuah angkringan dengan latar belakang lagu dangdut yang ironisnya dinyanyikan oleh sang pengecamnya, seorang "Proffesor" yang bahkan tidak berani mencopot kacamata hitamnya dalam sebuah wawancara dengan seorang wanita cantik dan smart didepan publik Indonesia.

Jokowi hanya tersenyum, dan tidak membalas. Hanya sekedar 'mengingatkan' saja kepada para pengecamnya, melalui sebuah jalur yang njawani atau sarat filosofis jawa-nya.

" Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake "

Dia kaya, tanpa harus merasa memiliki apa apa. Gak perlu pamer , cukup nongkrong di angkringan saja.  Berkuasa, tanpa harus  merasa mulia namun lebih merasa sebagai seorang pelayan untuk rakyat.  Memasuki sebuah "pertempuran politik" tanpa bala, karena tau pasti bahwa partai yang didiaminya sekarang pun sebetulnya bukan sebuah pilihan rakyat pada umumnya. Dan kenyataannya, sebagaimana banyak orang ingin sekali mempersangkutkan dirinya dengan partai yang dinaunginya, kita hanya bisa melihat sosok bernama Jokowi.

Yang tak jarang malah sulit untuk diasosiasikan dengan "kebesaran Partainya".

Menang tanpa ngasorake ? Jokowi yang tak pernah membantah, berbalas sengit kepada para rival politik maupun kritikusnya. Sekedar menanggapi dengan santai. Dikatakan tidak pantas, diapun hanya mengiyakan saja. Tidak lantas adu heboh perang twit seperti para selebritas politik yang lainnya. Bukan Jokowi apabila bisa menjatuhkan seseorang dan tertawa diatasnya.

Kota Solo ditinggalkan oleh Jokowi menjadi tertata pada awalnya namun jadi sedikit semrawut kemudian hari. Ini bukan sebuah contoh baik mengenai sebuah sistem yang berjalan. Melainkan memang dibutuhkan seorang pemimpin yang baik yang mampu konsisten untuk melakukan suatu sistem dan penerapan yang baik.  Gonjang ganjing seputar keraton pun turut menambah sedikit kerumitan disana.

Apakah berarti Jokowi harus kembali ke Kota Surakarta lagi, untuk kembali melakukan pembenahan?

Daerah Khusus Ibukota.  Yang dengan segala kesemrawutannya, ketidak aturannya dan segala bisnis kotor didalamnya pun diterimanya. Bersama dengan Ahok, satu persatu kembali diurai. Bukan sebuah pekerjaan instant untuk membenahi Jakarta sekitarnya, dan juga jutaan warganya, sebagian besar tak mau diatur sementara yang lain benar benar menginginkan perubahan.  Sedikit, demi sedikit upaya pembenahan di lakukan. Tak jarang, terbentur pada sebuah birokrasi lebih tinggi bernama Dalam Negeri.

Apa yang harus dilakukannya?  Tetap berada disana dengan keterbatasan dari birokrasi yang lebih tinggi atau menuju sebuah pucuk kepemimpinan yang lebih tinggi guna membenahi rumitnya birokrasi di tingkat yang lebih tinggi?

Yang jelas, Jokowi tidak akan mampu untuk kembali ke Solo sembari membenahi Jakarta. Memberikan satu perhatian khusus ke wilayah lain yang sudah bukan lagi didalam wilayah yuridiksinya. Sementara ini, rakyat Indonesia merasa sudah perlu bagi Jokowi untuk mencakup wilayah yang lebih luas. Indonesia secara keseluruhan.  Menginginkan Jokowi sebagai seorang Pemimpin yang kelak dapat berusaha keras mengatasi problem yang ada di Indonesia, baik dalam maupun luar negeri.

Terlalu romantiskah?

Oke, mari kita bicara jujur di pemilihan Presiden 2014 ini. Mana saja pihak yang sudah menghabiskan trilyunan bujet guna memaksakan dirinya untuk naik, ada yang sampai maksa bergelar Professor segala dan bahkan ada yang gelap mata menjadikan pemilihan Presiden sebagai upaya 'menyelamatkan diri' atas sebuah kebangkrutan. Belum lagi seorang capres yang entah kenapa tiba tiba muncul, tak tahu darimana.

Selama ini, banyak rakyat memilih golput karena mereka merasakan tidak akan ada bedanya memilih satu diantara yang terburuk ini. Para calon yang disodorkan kepada rakyat, tampak seperti ada rivalitas diantara mereka sementara sebetulnya banyak "perjanjian bawah tangan " sudah dilakukan dibawahnya.  Mereka mereka yang 'memaksakan diri' menjadi pilihan rakyat.

Kali ini, rakyat merasa ada sosok yang memang benar benar diinginkan oleh mereka untuk menjadi pemimpinnya. Seperti seharusnya dimana Demokrasi seharusnya berjalan. Dan sosok itu adalah Jokowi. Bukankah akan menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan, saat seseorang masuk kedalam kotak suara, tersenyum, mengucap do'a dan benar benar memberikan suaranya kepada seorang sosok yang dirasa mewakili pilihan dirinya?

Bukan lagi kebingungan, atau tak jarang malah mencoblos semuanya karena benar benar tidak merasa terwakilkan oleh gambar ,foto dan nomer yang ada pada kartu suara mereka.

Kita mau perubahan. Setelah melihat negara yang semakin carut marut ini dibawah kepemimpinan 'boneka'.  Mendambakan sosok sederhana, beserta Ibu Negaranya yang memberikan arti akan kesederhanaan.

" I Jokowified, atau saya terJokowi ". Are You ?

JKWFP - Jokowi For President.

Simak juga tulisan sebelumnya :

http://politik.kompasiana.com/2014/03/16/perjanjian-batu-tulis-cerita-bawah-tangan-politik-indonesia-638930.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun