Karikatur kontroversial yang dimuat di Jakarta Post edisi Kamis, 3 Juli 2014 menuai banyak kecaman.
Karikatur yang menggambarkan seseorang berkalung senjata sedang mengibarkan bendera dengan latar belakang "askar" Â yang terlihat dengan sebuah kendaraan pick up memuat rocket launcher dan satu individu lagi terlihat dalam posisi seperti hendak mengeksekusi sederetan orang dengan yang menunduk dengan tutup mata tersebut menjadi sangat ekstrim saat melihat suatu penggambaran yang satir :
Lambang tengkorak yang disertai kalimah  La Illa Ha Illallah dan bahkan didalam tengkorak tersebut menyanding lafal Allah,Rasul dan Muhammad.
Kartun yang kabarnya pertama kali di muat didalam laman www.alquds.co.uk ini memang disadur mentah oleh The Jakarta Post  (TJP)yang menurut keterangan yang dimuat oleh mereka adalah bukan ditujukan untuk ummat Islam secara general, melainkan kritikan terhadap pemuatan simbol agama ( dalam hal ini Islam) untuk sebuah penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh ISIS.
Meski demikian pada akhirnya redaksi The Jakarta Post (TJP) pun meminta maaf kepada publik atas kelalaiannya dan segera menarik editorial karikatur yang pada akhirnya mencederai ummat Islam di Indonesia. Sebagian dari masyarakat Islam di Indonesia mampu menerima permintaan maaf tersebut dengan alasan bahwa 'incaran' TJP Â sebetulnya adalah ISIS yang sedang dalam kecaman akibat aksi kekerasan yang dilakukannya.
Sebagian lagi masih tetap dengan pendapat bahwa sejatinya pemuatan karikatur tersebut tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik yang seharusnya ikut dalam sebuah peran aktif kontrol sosial tidak hanya pada tindak kekerasannya saja, melainkan juga etika terkait isu SARA di Indonesia sendiri.
Karikatur, sejatinya merupakan sebuah alat yang efektif untuk melakukan sebuah kritik sosial.  Dikemas didalam  penggambaran satir akan suatu keadaan atau kondisi yang akan dikritik dan 'mempermudah' audiense-nya untuk menerima kritik tersebut, terkadang dengan menertawakannya.
Sebuah karikatur memuat satu intrepretasi. Yang hendaknya pada akhirnya bisa dicerna dengan baik oleh yang melihatnya. Sebagai contoh penggambaran seorang politikus berkepala tikus. Penggambaran tentang sebuah binatang rodent penggerogot, seakan akan licik, penuh tipu daya dan seringkali maling untuk mendapatkan makanannya.
Aspek yang harus diperhatikan didalam sebuah karikatur  politik atau kontrol sosial adalah  siapa tokohnya, apa peristiwanya,  pesan atau misi apa yang hendak di sampaikan dengan lugas ataupun sedikit nakal dan tersembunyi  , simbol yang dipergunakannya dan yang terpenting disini adalah siapa     ( kira kira ) audiens-nya.
Dan diluar kaidah siapa, apa peristiwanya, pesan atau misi ( yang juga masih tanda tanya) Â TJP pun ibarat terkena dua pasal yang terakhir : simbol yang dipergunakan dan lebih penting lagi siapa kira kira audiens-nya. Â Jangan berharap pada sebuah interpretasi tunggal, apabila karikatur yang disodorkan oleh TJP memang seperti demikian. Simbol yang dipergunakan adalah kekerasan dalam hal ini penggambaran atas nama Islam. Â Bukan ISIS secara spesifik, namun Islam.
Tak adanya caption tersendiri "ISIS" yang mungkin akan sedikit mempermudah interpretasi orang terhadap hal tersebutpun menjadi satu sudut subyektif yang mengatakan bahwa karikatur tersebut bisa dengan mudah berlaku general. Saat dia telah dimuat secara editorial adalah hak mutlak semata mata para pembaca TJP ataupun yang melihat karikatur tersebut untuk memberikan interpretasi sesuai yang mereka lihat baik itu secara obyektif atau subjektif sekalipun.
Sebuah petisi yang saat ini sedang berjalan di change.org. Anda ingin melakukan perubahan?
Audiense atau pembaca dan yang turut melihat karikatur tersebut? Â Meskipun The Jakarta Post adalah surat kabar atau web yang dikhususkan dalam berbahasa Inggris, TJP tidak bisa melupakan satu kenyataan bahwa dia adalah sebuah entitas yang berkedudukan secara resmi di Negara Republik Indonesia. Dengan target audience yang mayoritas bermukim di Indonesia. Apakah itu ekspatriat, mereka yang kebetulan dalam suatu singgah di Indonesia ataupun juga orang Indonesia asli. Lepas dari itu, Â TJP berdiri di tanah Indonesia.
Dengan segala etika , norma dan juga sensitivitas terkait dengan Indonesia. Â TJP telah berhasil dalam memberikan suatu pelajaran mengenai etika tentang kartu "the art of controversy" yang gagal dimainkan dengan baik dan cenderung memberikan pesan bersayap. Â Bahkan beberapa pihak dengan pasti mengangkat keberpihakan TJP dalam sebuah agenda Ghazwul Fikr. Seperti banyolan tak lucu yang juga berbentuk pengangkatan simbolisme satir dari Wimar Witoelar yang belum lama ini.
Secara subyektif saya akan mengatakan demikian.
Bagaimana anda akan menilai apakah itu sebuah kesengajaan atau kelalaian, saya kembalikan pada pribadi masing masing saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H