Mohon tunggu...
Basis Kata
Basis Kata Mohon Tunggu... Mahasiswa - "Tetaplah membumi dengan tulisan yang melangit"

Sebuah persepsi kiranya akan mati dan tak berguna jika tidak diabadikan maupun dibagikan ke sesama makhluk hidup. Maka dari itu melalui setiap tulisan, sejatinya persepsi itu akan terus abadi pun demikian dengan penulisnya. Menulislah agar kau tetap terus ada🌹 Tentang makhluk yang ingin abadi dalam tulisannya. Bernama lengkap Syahrul Gunawan lahir di Bontang, 10 Maret 1999. Beralamat di Ralla, Kab. Barru dan saat ini berdomisili di Jl. Andi Djemma, Lr. 5C, Kota Makassar. Menempuh pendidikan di SDI Kompleks Ralla (2005-2011), SMPN 1 Tanete Riaja (2011-2014), SMAN 5 Barru (2014-2017), S1 Manajemen FEB UNM (2017-2022).

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kritik Sama dengan Dicekik

13 Maret 2021   03:42 Diperbarui: 13 Maret 2021   03:59 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ke mana puan dan tuan penegak keadilan, hukum semakin tajam ke bawah tumpul ke atas. Si kaya kebal hukum, si miskin langganan dihukum. Pemerintah ingin rakyatnya mengkritik mereka, tapi seruan itu laiknya sebuah jebakan. Dewasa ini, kebebasan berpendapat di muka umum semakin dibatasi oleh beberapa faktor seperti UU ITE, adanya polisi moral, maraknya buzzeRp, beberapa ormas yang merasa paling benar seolah-olah stempel kebenaran ada ditangannya.

Presiden Joko Widodo sendiri mengajak masyarakatnya untuk lebih proaktif dalam mengkritik dan memberikan masukan kepada pemerintah. Tetapi, berdasarkan beberapa survei yang dilakukan beberapa lembaga masyarakat di negara demokrasi ini merasa tidak bebas dan takut untuk berpendapat dan menyampaikan kritiknya yang dikutip dari infografis pada Instagram @narasinewsroom pada 10 Februari 2021 lalu. Menurut survei dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Desember tahun 2020, sebanyak 29,4 % masyrakat mengaku tidak bebas mengkritik pemerintah.

Selain itu, hasil survei dari Indonesia Youth IGF, SAFEnet dan Pamflet Generasi pada 11 Februari 2020 menyatakan 56% warganet tidak merasa bebas mengungkapkan ekspresi mereka di dunia maya, yang notabene merupakan ruang paling terbuka untuk menyampaikan keresahannya terhadap rezim. Survei lain yang dilakukan oleh Lembaga Indikator Politik Indonesia pada 24-30 September 2020 menunjukkan 47,7% responden menyatakan cenderung setuju bahwa warga makin takut menyampaikan pendapat. Sebanyak 21,9% responden menaytakan bahwa warga sangat setuju makin takut menyatakan pendapat.

Padahal secara gamblang kebebasan berpendapat adalah hak dasar yang dimiliki individu yang telah diatur dalam konstitusi negara (katanya) demokrasi ini yang tertuang dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Disamping itu, telah diatur juga dalam ketentuan Pasal 28F UUD 1945, yang berbunyi: "Setiap orang yang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia". 

Namun, hal itu seketika menjadi hal yang tabu ketika kritik menjadi menakutkan bagi masyarakat, terlebih bagi para aktivis yang tentunya telah mengkaji secara mendalam terkait suatu isu yang diangkat dan menjadi bahan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Menakutkan dikarenakan tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum yang mengkriminalisasi bahkan menangkap seseorang tanpa bukti yang jelas. Seakan-akan ada aktor dibalik penangkapan para penegak keadilan yang sebenarnya ini.

Beberapa kasus seperti ini semakin marak terjadi, pada era Jokowi menurut laporan tahunan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 22 Januari 2021, indeks demokrasi di Indonesia merosot. Peringkat Indonesia terjun bebas dalam berdemokrasi yakni ke urutan 64 dunia. Dengan skor 6.3, posisi Indonesia tertinggal oleh negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Timor Leste dan Filipina. Angka tersebut adalah yang terendah selama kurun waktu 14 tahun terakhir.

Lantas bagaimana mungkin masyarakat itu sendiri hendak memberikan kritikannya kepada kebijakan pemerintah jika berdasarkan data tersebut saja masyarakat tidak bebas dalam mengemukakan pendapatnya. Salah satu contoh kasus yang terjadi di Makassar ada 10 orang korban asal tangkap yang dilakukan pihak Polrestabes Makassar itu diputuskan bersalah terkait pembakaran ambulance  dan gedung salah satu partai saat aksi penolakan UU Cipta Kerja oleh hakim Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Makassar dengan sangat meyakinkan dan terbukti secara data dan hukum yang berlaku. Mereka dijatuhi hukuman 3 bulan 21 hari terhitung sejak dari masa tahanan. Padahal jelas-jelas mereka sama sekali tidak terlibat dalam kejadian pada tanggal 22 Oktober 2020 di Jl. A.P. Pettarani, Makassar. Berdasarkan fakta-fakta hukum yang digelar oleh kuasa hukum terdakwa, sangat jelas dan terperinci membuktikan ketidakterlibatannya dalam kejadian tersebut.

Mereka tidak bersalah, mereka korban asal tangkap dan salah tangkap, mereka korban kriminalisasi aparat (katanya) penegak hukum. Tetapi majelis hakim malah diputuskan bersalah, hal ini jelas memperlihatkan bahwa tidak ada tempat lagi mencari keadilan di negeri yang fana ini. Instansi pengadilan yang notabene tempat mencari keadilan kini kehilangan marwahnya. Lalu di mana lagi kita mencari keadilan negera hukum ini. Menurut W.J.S. Poerwadarminto, keadilan adalah suatu kondisi tidak berat sebelah atau pun seimbang, yang sepatutnya tidak diputuskan dengan cara yang sewenang-wenang. Tetapi berbeda praktiknya di Indonesia, keadilan seolah-olah punya syarat dan ketentuan untuk berlaku.

Keliru kiranya ketika ada yang mengatakan "Betapa pun tajamnya pedang keadilan, ia tidak akan memenggal kepala orang yang tidak salah", yang lebih tepatnya ialah "Betapa pun tajamnya pedang keadilan, ia tidak akan memenggal kepala orang yang punya uang dan berkuasa". Hal tersebut nisbi adanya melihat realita yang ada dewasa ini. Ketika mata dan hari nurani dibutakan dalam penegakan keadilan, merupakan pertanda kehancuran bangsa. Buya Hamka berkata "Yang benar tetap benar, yang salah tetap salah, kaya dan miskin dihadapan keadilan adalah sama". Apabila kesalahan dipaksa menjadi sebuah kebenaran kemudian terepetisi menjadi habitus, itu menjadi penindasan intelektual. Memaksakan kehendak atau kebenaran kepada orang lain.

Bagai mencari jarum di tumpukan jerami, seperti itulah kiranya peribahasa yang menggambarkan realita yang ada. Tetapi, walau sebesar apapun peluang yang ada juga, itu tidak bisa menjamin apakah kita akan berhasil melakukannya jika tidak mencobanya. Berbeda jika kita berusaha untuk memanfaatkan peluang yang sekecil apapun, pastinya tetap ada peluang kita untuk berhasil jika kita mencobanya. Yang pada intinya usaha kita untuk tidak tunduk pada penindasan dan senantiasa berdiri atas nama keadilan akan membawa kita pada kemenangan melawan tirani.

"Ketika kebebasan dikekang, mana mungkin keadilan ditegakkan"

NB: Tulisan ini pertama kali saya pos di laman basiskata59.wordpress.com pada tanggal 15 Februari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun