Mohon tunggu...
Irham Bashori Hasba
Irham Bashori Hasba Mohon Tunggu... Lainnya - Sekilas Tentang Irham Bashori Hasba

Irham Bashori Hasba adalah pegiat sosial masyarakat, suka ngamati dan menuliskannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Apa dengan Makan? (Sebuah Catatan: 1)

30 Juni 2022   01:37 Diperbarui: 30 Juni 2022   01:42 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Makanan adalah bentuk kenyamanan paling primitif." - Sheila Graham

Pasca sebuah hajatan keluarga, tubuh saya begitu limbung dan drop. Rasa yang benar-benar tidak enak, apalagi diusia saya saat ini yang "belum dikategorikan tua sekali - meski sebenarnya sudah mulai tua", terpaksa saya mengikuti ajakan istri untuk periksa ke dokter dan begitu kaget atas hasilnya: gula darah tinggi, kolesterol tinggi, dan sebagainya sehingga saya diharuskan mengontrol pola makan. 

Shock melihat kenyataan itu dan memaksa saya benar-benar harus merubah semua pola dan kebiasaan sebelumnya, terutama mencoba tidak mengkonsumsi beras atau nasi dalam beberapa waktu -- disamping off gula. Hasilnya sungguh membuat kagum, kondisi kembali normal. 

Saya juga mencoba bereksperimen kembali dengan makan nasi dan sedikit gula, dan ternyata naik lagi. Tulisan ini saya buat sebenarnya tidak untuk bercerita tentang kondisi saya, namun tak ada salahnya dimulai dari hal tersebut. 

Saya pun kemudian kembali bertanya: "Ada apa dengan beras dan nasi kita?" "Ada apa dengan makanan kita?" dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membuat saya kembali berfikir keras dalam gelisah tentunya.

BUKANKAH LELUHUR KITA MAKAN NASI SEJAK DULU, TAPI KENAPA DAMPAKNYA BEGITU BERBEDA?

Beras merupakan buliran-buliran yang dihasilkan dari tanaman padi dan menjadi makanan pokok bangsa Indonesia, dan bahkan Asia pada umumnya. 

Berbahasa latin Oryza Sativa, padi telah dibudidaya masyarakat Asia sejak dahulu kala dan menjadi tanaman budidaya yang sangat berpengaruh dalam peradaban. 

Padi memiliki berbagai kandungan yang dibutuhkan tubuh, sehingga membuat kenyang. Namun kenapa saat ini beras begitu dihindari karena dapat memicu gula darah dan bahkan sangat tidak dianjurkan bagi orang yang terkena diabetes? Kenapa beras begitu dihindari oleh orang yang diet? Padahal dari dulu telah dikonsumsi leluhur kita?

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu pesat saat ini tentu juga mengubah cara pandang kita semua terhadap banyak hal, termasuk pada padi -- beras -- nasi ini. Namun yang menjadi perenungan saya kemudian adalah bagaimana nasib petani kita? siapa yang paling dominan bermain dan "diuntungkan" dengan dunia perberasan ini? 

Mengingat hari hampir seluruh stok pasaran beras mayoritas telah berlabel pabrikan dan jarang sekali ditemukan transaksi beras yang diproses sendiri dan dijual langsung oleh petani tanpa label tertentu. Benarkah beras menjadi salah satu pemicu penyakit yang kita harus hati-hati terhadapnya?

POLITIK PANGAN: TERNYATA BENAR-BENAR NYATA

Akhir-akhir ini, terutama pasca meredanya pandemi covid 19 dan bergesernya konflik internasional dari timur tengah ke benua eropa terutama ketika pecah perang Rusia -- Ukraina yang sampai saat ini belum usai, isu pangan menguat seiring dengan semakin langkanya bahan pangan yang dipengaruhi konflik tersebut. 

Para pemimpin negara-negara didunia riuh dengan kelangkaan bahan pangan, bahkan presiden Jokowi juga turut memecah kelangkaan pangan dengan berkunjung ke Eropa dan Rusia Ukraina yang sedang berkonflik salah satunya dengan membawa isu pangan sebagai bahan diplomasinya. 

Berangkat dari hiruk pikuk tersebut, saya tergugah untuk berfikir dan menyambungkannya dengan apa yang saya uraikan diatas dengan sebuah pertanyaan "Apa itu makan?"

Pertanyaan tersebut saya coba tanyakan pada kolega-kolega saya -- tak sedikit dari mereka menganggap pertanyaan saya aneh. Hampir seluruh jawaban mereka adalah "makan ya makan nasi yang bisa membuat kenyang". 

Saya kemudian bertanya "Apakah kenyang itu dengan makan nasi?" Pertanyaan ini menjadi perhatian saya karena cara berfikir mayoritas masyarakat adalah makan itu ya makan nasi. 

Bagaimana dengan makanan yang lain, apakah tidak disebut makan dan kenyang? Dari diskusi-diskusi tersebut saya mencoba menyimpulkan dengan sederhana bahwa nasi benar-benar menjadi makanan pokok yang memberi pengaruh besar terhadap cara pandang masyarakat kita atas makan. 

Jika dikontekstualisasikan dengan kondisi hari ini, bagaimana jadinya jika beras benar-benar langka dan harganya meroket, semisal naik berlipat-lipat? Tentu akan berdampak signifikan bagi masyarakat. 

Namun disisi yang lain saya juga bertanya "apakah kita benar-benar telah lupa dengan makanan alternatif yang begitu mudah dan melimpah di negeri kita ini? Seperti jagung, singkong, talas, kentang dan makanan alternatif lainnya yang tentu juga mengenyangkan. Benarkah definisi "kenyang" begitu berubah? 

Sekali lagi saya gelisah "Siapa yang paling beruntung dari cara pandang tersebut?" Mengingat petani selalu saja mengeluh karena bertani padi tidak begitu menguntungkan mereka sebab harga yang tidak sesuai dengan biaya proses dan pupuk yang begitu mahal, ditambah semakin banyaknya hama dan tidak sebanding dengan hasilnya.

MERUBAH PARADIGMA "MAKAN" 

Indonesia sebagai entitas negara dan bangsa dengan kekayaan alam yang melimpah dan didukung kondisi tanah yang subur bukan hanya sebuah teori dan konsepsi untuk menggugah nasionalisme dan rasa kepemilikan kita atas negara ini, namun benar-benar sebuah kenyataan yang hari ini membuat bangsa manapun melirik dan bahkan iri. Kita patut bersyukur atas hal tersebut.

Sepatutnya kita berfikir ulang sekaligus perlu bersyukur atas anugerah tersebut agar kita tidak seperti pepatah "Semut seberang tampak, gajah dipelupuk mata tak tampak" atau "Rumput tetangga lebih baik", salah satunya dengan merenungkan kembali cara pandang kita terhadap makan. 

Jika kita lebih terbuka dengan cara berfikir tersebut, saya memiliki keyakinan kita tak akan begitu terdampak jika kelangkaan bahan makanan di dunia ini benar-benar akan terjadi sebab kita dapat memproduksinya, kita dapat menghasilkannya, kita memiliki alat dan tempatnya, tentu kita harus kembali merubah cara pandang kita atas makan. 

Makan seharusnya membuat kita kenyang dari apapun yang bisa dimakan dari yang dapat dihasilkan tanah kita sendiri. Entah itu nasi, ketela, kentang, dan lainnya. Maka mari kita kembali renungkan? Sebelum semuanya terlambat. (Gubuk Perdikan_Karang Widoro).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun