Dulla seorang pedagang sayur. Hidupnya lebih banyak mengabdi kepada pekerjaannya. Sudah hampir dua puluh lima tahun ia menggeluti pekerjaan itu. Tak pernah mengeluh, apalagi putus asa. Meskipun badannya tidak setegak ketika masih muda, karena setiap hari ia harus memikul dagangannya, ia puas-puas saja dengan keadaanya. Ia benar-benar ulet, rutin dan sabar menghadapi kenyataan yang ia jalani.
Lelaki enam puluhan itu masih segar dan kuat setiap hari memikul beban dari rumahnya ke pasar sejauh dua kilometer. Ia tak pernah sakit. Kalau kepayahan, ia anggap biasa, cukup dengan minum jamu pakai telor ayam kampung, madu, jeruk pecel untuk memulihkan tenaganya. Tidur cukup, esok harinya segar kembali buat memikul sayur ke pasar. Suatu rutinitas yang kurang mendapat perhatian dari orang lain.
Tetapi pagi itu, Dulla berangkat ke pasar tidak seperti biasanya. Padahal selepas subuh, ia sudah berangkat. Kali ini setelah matahari naik, ia baru berangkat memikul barang-barangnya. Banyak orang di sepanjang jalan yang biasa ia lalui menanyakan kesiangannya, atau Dulla mengambil barang lagi karena sayurnya habis.
Dulla tak peduli apa kata orang. Ia memikul barang-barangnya tanpa menoleh ke kanan-kiri. Ia tergesa-gesa untuk sampai ke tujuannya. Ia tak ingin kesiangan.
Sesampainya di kota, lelaki itu berbelok menuju jalan jurusan alun-alun. Biasanya ia mengikuti jalan jurusan pasar induk dimana ia biasa menggelar sayurannya. Ada apa lelaki itu menuju ke alun-alun. Mau menjajakan sayurannya ke kator-kantor barangkali??
Dulla memperlambat langkahnya ketika melewati trotoar di depan sebuah bank. Tepat di pintu gerbangnya, ia berhenti sejenak untuk menyeka keringat, lalu mengipas-ngipas dadanya dengan kopiahnya. Gumamnya hampir tanpa suara: "Lho, ini to tempat setor naik haji?"
Tanpa buang-buang waktu, ia memikul bawaannya memasuki pintu gerbang itu. Tepat di pos penjaga, ia dicegat oleh seorang satpam. "Pak, pak, mau kemana?! Jangan jualan di sini. Dilarang!," tegur satpam itu sedikit kasar.
"Lho, sampeyan ini gimana? Saya tidak mau jualan. Mau setor haji," keluh Dulla semangat.
Satpam itu langsung tertawa mendengar Pak Pikul mau setor haji. "Sinting," ejeknya sambil menyilangkan telunjuk di keningnya. Ia pun segera mengusir Dulla keluar pagar.
Dulla menurut saja pada hardikan satpam itu. Meskipun ia mangkel atas perlakuan lelaki berseragam putih biru itu, ia pantang mengeluarkan sumpah serapah. Ia hanya dapat mengeluh: "Uh, kapan dan dimana orang baik yang bisa menolongku setor haji? Di kira sinting aku ini. Nasib!"
Dengan rasa kecewa berat, ia masuk bank lain yang tak seberapa jauh dari bank yang mengusirnya. "Oh, Gusti." Keluhnya. untuk kedua kalinya ia kecewa. Ternyata satpam di bank itu sama saja dengan di bank sebelumnya. Ia diperlakukan kasar. Juga di usir, keluhnya mengadu kepada diri sendiri: "Mengapa ya bank membeda-bedakan orang. Apa tak boleh orang macam aku datang ke bank? Padahal aku mau setor naik haji."