Mohon tunggu...
B.A Satmoko
B.A Satmoko Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan Penulis

PhD in Social Policy, UK

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Setelah JKN, Apakah Selanjutnya Giliran Jamsosnaker? Mengolah Wacana Perlindungan Semesta Program Jamsosnaker

18 September 2023   00:51 Diperbarui: 18 September 2023   00:54 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah pemerintahan Jokowi sukses dengan luasnya cakupan perlindungan BPJS Kesehatan, apakah pemerintahan selanjutnya tertarik untuk memperluas cakupan program BPJS Ketenagakerjaan? Tapi sebelum menjawab pertanyaan itu, apakah anda tahu bahwa BPJS itu ada dua? Apakah anda paham bahwa BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan merupakan dua entitas yang berbeda?

Perlu diketahui bahwa kedua BPJS tersebut adalah dua entitas yang berbeda dengan manajemen yang berbeda pula. Keduanya dibentuk berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 sebagai penyelenggara Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Namun saya masih sering menemukan bahwa publik melihat BPJS ya hanya satu BPJS. Kalaupun mereka pernah mendengar adanya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, mereka menganggap bahwa kedua BPJS itu ada dalam satu atap kepengurusan, hanya berbeda Divisi, yang satu menangani Kesehatan, dan yang lainnya Ketenagakerjaan.

Menurut saya pandangan publik  terhadap BPJS itu sangatlah lumrah karena sejak awal BPJS beroperasi pada 2014, BPJS Kesehatan dengan program JKNnya sudah lebih cepat menyebar luas dan langsung dirasakan manfaatnya di masyarakat. Sehingga, "BPJS" langsung melekat dengan jaminan kesehatan.

Sejak pelaksanaan operasional BPJS diefektifkan pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia memang terlihat mengutamakan program jaminan kesehatan daripada jaminan sosial ketenagakerjaan. Berbicara tentang jaminan kesehatan, berdasarkan laporan publikasi audited 2022 BPJS Kesehatan, cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah mencapai 90,34% dari penduduk Indonesia. Kondisi ini sangat berbeda dengan cakupan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsosnaker), di mana berdasarkan laporan publikasi audited 2022 BPJS Ketenagakerjaan, tercatat sebanyak 35,8 juta pekerja menjadi peserta aktif, atau hanya sekitar 26,5% dari jumlah penduduk bekerja. Sekali lagi, capaian ini menunjukkan prioritas Pemerintah untuk menuju cakupan semesta JKN daripada jamsosnaker.

Perlu dicatat bahwa sebagian besar kepesertaan JKN adalah Penerima Bantuan Iuran (PBI) nasional (44,6%), dan masyarakat bukan pekerja yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah (16,4%). Dengan demikian, lebih dari 60% kepesertaan dalam JKN berasal dari bantuan pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Hal ini sangat berbeda dengan perlakuan pemerintah terhadap program jamsosnaker di mana sampai dengan saat ini pemerintah belum merealisasikan PBI jamsosnaker bagi pekerja miskin atau berpenghasilan rendah walaupun hal ini tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Dapat dipahami bahwa Program JKN memiliki dampak positif yang dirasakan secara langsung dan cepat baik bagi masyarakat maupun bagi Pemerintah. Bagi masyarakat, tentunya JKN langsung dirasakan khususnya oleh mereka yang berpenghasilan rendah atau bahkan tidak berpenghasilan. Di samping memang penyediaan program JKN ini sebagai salah satu tugas pemerintah dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya, program JKN sekaligus dapat digunakan sebagai alat populisme untuk mendapatkan dukungan masyarakat atas kinerja pemerintah. Pemerintahan Jokowi menggunakan momentum pemberlakuan operasional BPJS dengan mengangkat program Kartu Jakarta Sehat, Jamkesmas, dan Jamkesda ke level nasional menjadi JKN. Program JKN juga menjadi unggulan dalam materi kampanye periode ke dua pemerintahan Jokowi.

Namun, setelah beberapa tahun sejak 2014, JKN telah menjadi suatu program pemerintah yang normatif. Dengan demikian, Pemerintahan setelah era Jokowi mau tidak mau harus melanjutkan program JKN ini karena masyarakat melihat ini menjadi suatu hal yang wajar disediakan oleh pemerintah.

Menjelang tahun politik di 2024, para calon presiden beserta tim pemenangannya perlu mencari suatu hal baru yang ditawarkan selain program JKN. Dari aspek jaminan sosial, "saudara kembar" JKN, yaitu jamsosnaker bisa jadi sebuah pilihan. Namun apakah program jamsosnaker ini bisa jadi suatu hal yang dapat "dijual" untuk mendongkrak popularitas?

Menurut saya, program jamsosnaker dapat mendongkrak elektabilitas para calon presiden dan wakilnya tapi dengan prerequisite condition. Tidak seperti JKN yang langsung dapat dipahami manfaatnya, jamsosnaker belum dipahami secara luas. Sehingga, agar dapat menjadi program "jualan", Publik perlu dibuat paham terlebih dahulu mengenai urgensi program ini dan apa dampaknya bagi keberlangsungan ekonomi mereka.

Memang, program jamsosnaker sepertinya lebih sulit dipahami karena mencakup lebih dari satu jenis program yaitu meliputi program jaminan kecelakaan kerja, kematian, hari tua, pensiun, dan kehilangan pekerjaan. Memberi pemahaman urgensi atas program-program ini juga menjadi tantangan tersendiri karena tidak seperti JKN, program jamsosnaker baru terasa manfaatnya ketika terjadi sesuatu yang jauh di depan (myopic view) seperti ketika masuk usia tua atau kejadian yang tidak diinginkan seperti kecelakaan, kematian, dan PHK.

Sebagian besar peserta program jamsosnaker saat ini adalah mereka yang bekerja pada perusahaan formal. Berdasarkan laporan publikasi tahun 2022, peserta aktif jamsosnaker terdiri dari 22,8 juta Penerima Upah, 7 juta pekerja jasa konstruksi, dan 6 juta pekerja Bukan Penerima Upah. Dengan kata lain, sekitar 29,8 juta adalah pekerja formal yaitu mencakup 83,2% dari total peserta aktif.

Namun penelitian saya menunjukkan bahwa bahkan banyak pekerja formal yang terdaftar ini tidak paham tentang urgensi program jamsosnaker. Mereka terdaftar karena perusahaan lah yang melakukan pendaftaran. Berbeda halnya dengan para pekerja informal di mana mereka perlu paham urgensinya baru mereka mau mendaftarkan diri. Singkatnya, dengan kondisi ini, perlu pengayaan pengetahuan publik akan pentingnya jamsosnaker sehingga program ini "laku" untuk dipromosikan oleh calon pemerintahan selanjutnya.

Kemudian bila program ini belum dapat "menjual", kenapa program ini perlu didorong agar dapat "menjual" dan mendapat perhatian pemerintahan selanjutnya? Menurut saya, jamsosnaker perlu mendapat panggung dalam wacana publik karena program ini menguntungkan bagi masyarakat. Publik perlu tahu bahwa ketika mengalami kecelakaan kerja maka biaya perawatan rumah sakit dapat ditanggung penuh. Publik perlu paham bahwa ketika seorang pemberi nafkah mengalami kematian, keluarganya berhak mendapat santunan sampai dengan lebih dari 40 juta Rupiah, bahkan ada tambahan beasiswa bagi anak yang ditinggalkan. Publik juga perlu mengerti bagaimana pentingnya memiliki tabungan dan uang pensiun ketika mereka tua dan tidak produktif bekerja.

Wacana tentang mendorong program jamsosnaker ini menjadi lebih urgent ketika melihat bahwa sebagian besar pekerja yang tidak terdaftar adalah pekerja bukan penerima upah, yaitu pekerja informal yang notabene merupakan pekerja berpenghasilan rendah, bahkan pekerja yang tidak dibayar secara reguler. Terlepas dari rendahnya awareness mereka atas program ini, pemerintah berkewajiban menjaga kesejahteraan mereka agar tidak jatuh ke bawah garis kemiskinan ketika mereka mengalami guncangan sosial ekonomi seperti akibat kecelakaan atau kematian. Lebih jauh, hal yang perlu dipahami oleh para penyelenggara negara adalah bahwa perlindungan jamsosnaker terhadap pekerja informal dapat menjadi bantalan pengaman ekonomi negara karena porsi pekerja informal yang mendominasi populasi pekerja Indonesia.

Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah bahwa program jaminan sosial merupakan hak setiap warga negara. Setelah sukses dengan luasnya cakupan JKN, maka jamsosnaker perlu mendapat giliran selanjutnya. Program jamsosnaker ini menguntungkan bagi masyarakat pekerja dan keluarganya sebagai pengaman di saat mengalami risiko sosial ekonomi tertentu. Perlu pengayaan wacana dan pengetahuan publik atas urgensi kepesertaan program jamsosnaker ini terutama bagi para pekerja informal dan berpenghasilan rendah, bahkan miskin. Mengingat besarnya jumlah pekerja informal dan miskin, maka tim sukses para calon presiden dapat "menjual" gagasan perlindungan jamsosnaker bagi para pekerja ini dalam agenda kampanyenya. Pemberian program PBI (Penerima Bantuan Iuran) dapat menjadi opsi dalam merealisasikan gagasan tersebut sekaligus menuntaskan janji pemerintahan Jokowi dalam RPJMN 2020-2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun