Setelah pemerintahan Jokowi sukses dengan luasnya cakupan perlindungan BPJS Kesehatan, apakah pemerintahan selanjutnya tertarik untuk memperluas cakupan program BPJS Ketenagakerjaan? Tapi sebelum menjawab pertanyaan itu, apakah anda tahu bahwa BPJS itu ada dua? Apakah anda paham bahwa BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan merupakan dua entitas yang berbeda?
Perlu diketahui bahwa kedua BPJS tersebut adalah dua entitas yang berbeda dengan manajemen yang berbeda pula. Keduanya dibentuk berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 sebagai penyelenggara Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Namun saya masih sering menemukan bahwa publik melihat BPJS ya hanya satu BPJS. Kalaupun mereka pernah mendengar adanya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, mereka menganggap bahwa kedua BPJS itu ada dalam satu atap kepengurusan, hanya berbeda Divisi, yang satu menangani Kesehatan, dan yang lainnya Ketenagakerjaan.
Menurut saya pandangan publik  terhadap BPJS itu sangatlah lumrah karena sejak awal BPJS beroperasi pada 2014, BPJS Kesehatan dengan program JKNnya sudah lebih cepat menyebar luas dan langsung dirasakan manfaatnya di masyarakat. Sehingga, "BPJS" langsung melekat dengan jaminan kesehatan.
Sejak pelaksanaan operasional BPJS diefektifkan pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia memang terlihat mengutamakan program jaminan kesehatan daripada jaminan sosial ketenagakerjaan. Berbicara tentang jaminan kesehatan, berdasarkan laporan publikasi audited 2022 BPJS Kesehatan, cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah mencapai 90,34% dari penduduk Indonesia. Kondisi ini sangat berbeda dengan cakupan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsosnaker), di mana berdasarkan laporan publikasi audited 2022 BPJS Ketenagakerjaan, tercatat sebanyak 35,8 juta pekerja menjadi peserta aktif, atau hanya sekitar 26,5% dari jumlah penduduk bekerja. Sekali lagi, capaian ini menunjukkan prioritas Pemerintah untuk menuju cakupan semesta JKN daripada jamsosnaker.
Perlu dicatat bahwa sebagian besar kepesertaan JKN adalah Penerima Bantuan Iuran (PBI) nasional (44,6%), dan masyarakat bukan pekerja yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah (16,4%). Dengan demikian, lebih dari 60% kepesertaan dalam JKN berasal dari bantuan pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Hal ini sangat berbeda dengan perlakuan pemerintah terhadap program jamsosnaker di mana sampai dengan saat ini pemerintah belum merealisasikan PBI jamsosnaker bagi pekerja miskin atau berpenghasilan rendah walaupun hal ini tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Dapat dipahami bahwa Program JKN memiliki dampak positif yang dirasakan secara langsung dan cepat baik bagi masyarakat maupun bagi Pemerintah. Bagi masyarakat, tentunya JKN langsung dirasakan khususnya oleh mereka yang berpenghasilan rendah atau bahkan tidak berpenghasilan. Di samping memang penyediaan program JKN ini sebagai salah satu tugas pemerintah dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya, program JKN sekaligus dapat digunakan sebagai alat populisme untuk mendapatkan dukungan masyarakat atas kinerja pemerintah. Pemerintahan Jokowi menggunakan momentum pemberlakuan operasional BPJS dengan mengangkat program Kartu Jakarta Sehat, Jamkesmas, dan Jamkesda ke level nasional menjadi JKN. Program JKN juga menjadi unggulan dalam materi kampanye periode ke dua pemerintahan Jokowi.
Namun, setelah beberapa tahun sejak 2014, JKN telah menjadi suatu program pemerintah yang normatif. Dengan demikian, Pemerintahan setelah era Jokowi mau tidak mau harus melanjutkan program JKN ini karena masyarakat melihat ini menjadi suatu hal yang wajar disediakan oleh pemerintah.
Menjelang tahun politik di 2024, para calon presiden beserta tim pemenangannya perlu mencari suatu hal baru yang ditawarkan selain program JKN. Dari aspek jaminan sosial, "saudara kembar" JKN, yaitu jamsosnaker bisa jadi sebuah pilihan. Namun apakah program jamsosnaker ini bisa jadi suatu hal yang dapat "dijual" untuk mendongkrak popularitas?
Menurut saya, program jamsosnaker dapat mendongkrak elektabilitas para calon presiden dan wakilnya tapi dengan prerequisite condition. Tidak seperti JKN yang langsung dapat dipahami manfaatnya, jamsosnaker belum dipahami secara luas. Sehingga, agar dapat menjadi program "jualan", Publik perlu dibuat paham terlebih dahulu mengenai urgensi program ini dan apa dampaknya bagi keberlangsungan ekonomi mereka.
Memang, program jamsosnaker sepertinya lebih sulit dipahami karena mencakup lebih dari satu jenis program yaitu meliputi program jaminan kecelakaan kerja, kematian, hari tua, pensiun, dan kehilangan pekerjaan. Memberi pemahaman urgensi atas program-program ini juga menjadi tantangan tersendiri karena tidak seperti JKN, program jamsosnaker baru terasa manfaatnya ketika terjadi sesuatu yang jauh di depan (myopic view) seperti ketika masuk usia tua atau kejadian yang tidak diinginkan seperti kecelakaan, kematian, dan PHK.
Sebagian besar peserta program jamsosnaker saat ini adalah mereka yang bekerja pada perusahaan formal. Berdasarkan laporan publikasi tahun 2022, peserta aktif jamsosnaker terdiri dari 22,8 juta Penerima Upah, 7 juta pekerja jasa konstruksi, dan 6 juta pekerja Bukan Penerima Upah. Dengan kata lain, sekitar 29,8 juta adalah pekerja formal yaitu mencakup 83,2% dari total peserta aktif.