Aku masih sangat terkesan oleh suaranya yang memekik keras. Tubuhnya besar, sampai-sampai kuda tunganggannya berjalan terseok-seok menahan berat. Teriakan para pendukungnya seakan menggoyangkan pulau-pulau se-Nusantara. Setiap kali ada kampanye, akupun berlari menuju TVOne, TV kesayanganku. Aku terbakar oleh patriotismenya, janji-janjinya untuk membangun Indonesia seakan dalam sekejam mata. Singkat, aku muda terkesima oleh Toean Bowo.
Sebagai penggemar Toean Bowo, terkadang aku ingin membisiki. Namun, apa daya aku tak punya nomor cellphonenya. Sebagai orang beriman walaupun pendidikanku tak setinggi Toean Bowo, aku ingin ia mengurangi caci-makian terhadap pesaingnya, yaitu Toean Jokowi. Apakah benar orang Solo langsing ini Boneka? Apakah benar ia Chinese? Apakah benar ia komunis? Barangkali karena aku dibesarkan dalam keluarga yang tak mau menuduh, apalagi tanpa bukti akurat, aku terdorong untuk kirim SMS. Tetapi apa mau dikata, sekali lagi aku tak punya nomor cellphonenya.
Kini semua sudah berlalu. Calon presidenku kalah. Pertama, tentu aku merasa sedih. Tetapi aku tak ingin kesedihanku berlarut-larut. Aku harus kembali ke routinitasku. Aku ingin menghibur Toean Bowo, tetapi lagi-lagi semua sudah berlalu. Lantas untuk apa ditangisi. Lebih baik ke depan kuarahkan pandanganku. Berharap Indonesia menjadi lebih baik dipimpin Toean Jokowi. Toch, faktanya ia memenangkan Pilpres. Namun demikian aku tetap berharap Toean Bowo tetap maju untu capres lima tahun ke depan. Harapanku, tahun itu ia akan masih sehat. Kuda kesayangannya lebih perkasa. Suaranya tetap keras. Dan metode kampanye tak perlu menjelekkan pesaingnya. Â Para pendukungnya tak usah buat nazar yang aneh-aneh. Tetapi satu kecemasanku, jika ia lima tahun mendatang menang, dan pesaingnya minta Pilpres diulang, apakah ia akan menerimanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H