Banyak pihak meragukan hasil pengungkapan kasus tersebut. Berbagai kejanggalan dalam pengusutan dan pengungkapan kasus tersebut terus diungkapkan ke publik (media sosial). Mulai dugaan kasus yang sebenarnya bukan pembunuhan akan tetapi kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana diriliis pertama kali oleh pihak kepolisian, namun pada saat itu tidak dilakukan penyidikan sehingga sampai dengan saaat ini belum ada hasil penyidikan terjadinya kecelakaan lalu lintas dimaksud.
Muncul pula adanya dugaan terjadi intimidasi ataupun paksaan sampai dengan adanya arahan dari seseorang pada saat pemeriksaan di kepolisian terhadap para terpidana maupun saksi-saksi. Bahkan kemudian hasil persidangan (putusan pengadilan) perkara tersebut dianggap tidak tepat karena telah menjatuhkan pidana penjara kepada bukan pelaku sebenarnya.
Demikian pula beberapa orang yang dianggap sebagai saksi kunci secara terang-terangan menyatakan mencabut kembali keterangan yang pernah diberikan terdahulu dengan alasan keterangan tersebut diberikan karena adanya intimidasi maupun arahan dari orang lain. Keterangan yang diberikan tersebut bukan merupakan keterangan yang sebenarnya.
Inilah yang kemudian dijadikan sebagai salah satu peluang oleh (mantan) terpidana atas nama Saka Tatal untuk melawan putusan tersebut dengan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dalam upaya membersihkan kembali nama baiknya.Â
Demikian pula halnya para terpidana yang lain akan segera mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan tersbut. Hal ini sesuai aturan hukum (acara) yang berlaku sebagaimana ketentuan Pasal 263 (1) KUHAP dalam melakukan perlawanan atasan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Namun demikian dalam Kasus Vina Cirebon ini bukan hanya pihak terpidana yang 'melawan' atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut, pihak penyidik Polda Jawa Barat juga melakukan perlawanan meskipun tidak melalui mekanisme hukum yang berlaku.Â
Pihak penyidik Polda Jawa Barat hanya 'menganulir dan menghapus' adanya 2 (dua) orang DPO lain atas nama Dani dan Andi yang dianggap fiktif setelah melakukan penangkapan atas diri Pegi Setiawan.Â
Meskipun pada akhirnya penangkapan dan penahanan serta penetapan tersangka tersebut akhirnya dianulir oleh Pengadilan Negeri Bandung melalui putusan praperadilan dengan menyoroti adanya kesalahan prosedur yang dilakukan oleh penyidik Polda Jawa Barat dalam penetapan tersangka terhadap Pegi Setiawan.
Dari kacamata hukum acara (pidana) merupakan suatu hal yang aneh dan janggal apabila sebuah putusan (pengadilan) yang telah berkekuatan hukum tetap bukannya dilaksanakan (eksekusi) namun dilakukan 'perlawanan' Â dengan cara menganulir dan menghapus terhadap hasil penyidikan yang telah dilakukannya terdahulu. Pada hal sejatinya putusan pengadilan tersebut berawal dan berdasarkan dari adanya penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik (kepolisian) sebelumnya.Â
Adanya 3 orang (tersangka) yang masuk dalam daftar pencarian orang tentulah merupakan hasil penyidikan yang telah dilakukan berdasarkan alat bukti yang cukup misalnya berdasarkan keterangan saksi-saksi  yang kemudian dapat terbentuk suatu rangkaian atau konstruksi kejadian. Sehingga apabila kemudian penyidik menganulir ataupun menghapusnya dengan beralasan itu adalah fiktif maka mengakibatkan terjadinya missing link pada rangkaian peristiwa yang telah terjadi tersebut.
Apakah ada 'dusta' selama proses penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik (kepolisian) terdahulu sehingga beberapa saksi kunci mencabut kembali keterangan yang pernah diberikan terdahulu, bahkan pihak penyidik sendiri kemudian 'mengingkari' hasil penyidikan yang telah dilakukannya tersebut dengan menyatakan 2 orang DPO yang telah diterbitkan dan menjadi pertimbangan hukum dalam suatu putusan pengadilan adalah fiktif. Semudah dan sesederhana itukah proses penyidikan suatu kasus (pidana) dilakukan apalagi terkait dengan hilangnya nyawa seseorang yang pada akhirnya akan berakibat tragis pada 'nasib' terpidana. Â Â