Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Alumni Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pembangunan yang Berpihak pada Lingkungan, Mungkinkah?

29 September 2020   09:57 Diperbarui: 1 Oktober 2020   05:31 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembangunan dan kelestarian lingkungan. (shutterstock.com via kompas.com)

Paradigma ekologi lahir dari kesadaran akan kehancuran lingkungan yang ditimbulkan oleh eksploitasi sumberdaya alam dalam rangka pembangunan. 

Sedangkan paradigma modernisasi dituding telah menjadi biang kerok kerusakan ekosistem dunia. Industrialisasi di negara maju telah menimbulkan pencemaran air, udara, dan tanah. 

Asap pabrik-pabrik dan kendaraan mencemari lingkungan perkotaan. Limbah pabrik yang dibuang ke sungai mencemari air. Ini mengundang banyak penyakit kepada makhluk hidup khususnya manusia. Boleh jadi akumulasi biaya yang ditimbulkan di sektor kesehatan lebih tinggi jika dibandingkan keuntungan yang hanya dibekuk segelintir kalangan.

Sementara di negara-negara dunia ketiga atau juga dikenal dengan cap negara terbelakang dan atau negara berkembang meninggalkan kerusakan lingkungan sebagai dampak pengurasan sumberdaya alam. Bahan industri didatangkan dari negara berkembang dan negara terbelakang itu dengan kedok berbagai bantuan pembangunan. 

Kebijakan negara tersebut juga dikontrol oleh negara pemberi bantuan. Alhasil sumberdaya alam dikeruk dan dibawa ke negara maju. Negara-negara yang dikeruk perut buminya itu disisakan kerusakan lingkungan yang begitu parah. Bencana hidrologi pun mengancam hingga saat ini. Dan semuanya dipelopori oleh kapitalisme.

Sejak konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia di Stocholm, Swedia pada tahun 1972, lahir gagasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) oleh World Conservation Strategy dalam laporan Brundland yang berjudul Our Common Future. 

Mungkin inilah puncak dari segala kesadaran akan munculnya kehancuran bumi akibat pembangunan yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Untuk pertama kalinya, para kapitalis mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan demi memuluskan tujuan mereka.

Melanjutkan dominasi dengan narasi pelindung baru, tetap menjaga kelestarian lingkungan. Meskipun itu semua hanya sebagai kedok dan tetap melahirkan berbagai kerusakan di muka bumi.

Indonesia dengan cap negara berkembang juga tidak terlepas dari modernisasi. Tujuannya menggeser pertanian ke sektor industri. Dan jika melihat kondisi saat ini, sepertinya usaha itu telah membuahkan hasil. Berdasarkan data Produk Domestik Bruto (PDB), sektor industri telah menggeser sektor pertanian dengan kontribusi sebesar 19 persen. 

Akibat yang ditimbulkan terhadap lingkungan pun sudah terihat jelas. Efek rumah kaca yang ditimbulkan oleh polusi membuat iklim tak menentu. Panas bumi meningkat. Hutan-hutan dibabat dan dirambah atas nama pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak terbatas.

Rumah-rumah dibangun di Kawasan hutan lindung. Sementara di perkotaan, rumah dan perkantoran dilengkapi mesin pendingin ruangan yang semakin menambah kerusakan di lapisan ozon. Peningkatan pemanasan global menjadi hantu baru bagi keberlanjutan hidup manusia.

Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Walhi dan Yayasan Lembaga Konsumen pada awal 1980-an menjadi angin segar bagi perlindungan lingkungan. 

Sejak saat itu, kapitalisme mendapatkan lawan. Setidaknya mampu mereduksi perilaku destruktif pengusaha nakal yang abai akan kondisi alam. Kebijakan pemerintah juga mulai menunjukkan dukungan setelah dibentuknya kementerian lingkungan hidup. Dari masa ke masa, bisa disimpulkan kebijakan pemerintah turut memiliki andil terhadap kerusakan lingkungan.

Saat ini, kampanye daur ulang sampah telah menggeliat di seantero bumi. Indonesia mengadopsi dengan berbagai kebijakan dan Gerakan dalam masyarakat. 

Seperti pemilahan sampah organik dan yang bisa didaur ulang. Beberapa tempat pembuangan sampah mulai dilengkapi dengan teknologi daur ulang. Namun, yang masih menjadi masalah klasik adalah mental dan budaya masyarakat.

Sebenarnya, jika pemerintah segera menerapkan PDB hijau sebagai dasar penghitungan laju pertumbuhan ekonomi akan berdampak positif terhadap usaha konservasi lingkungan. 

Dari situ kelihatan sebesar apa nilai tambah dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Baik dari segi deplesi maupun degradasi terhadap sumberdaya alam.  

Nilai ril PDB yang diakui adalah nilai setelah dikurangi kerusakan lingkungan oleh sektor ekonomi itu sendiri. Boleh jadi, perekonomian kontraksi akibat lebih tingginya dampak negatif pembangunan, baik dari sisi kerusakan alam maupun biaya Kesehatan yang mesti ditanggung oleh masyarakat akibat pencemaran lingkungan.

Berbicara paradigma ekologi, ini tidak terlepas dari sebuah teori klasik yang diutarakan olehThomas Malthus tentang demografi. Malthus pesimistik terhadap masa depan umat manusia. 

Penduduk bertambah banyak, kebutuhannya pun semakin meningkat dari masa ke masa. Dalam usaha pemenuhan kebutuhan, manusia mengeskpoitasi alam dan berakhir dengan kerusakan. 

Dan suatu saat, alam tak mampu lagi menghasilkan makanan dan kebutuhan lainnya. Hanya saja, Malthus belum mempertimbangkan kemajuan teknologi. Paradigma ekologi ini bisa dijalankan dengan penerapan teknologi di berbagai bidang. Contohnya saja usaha daur ulang sampah.

Kendaraan hemat energi yang bahan bakarnya bukan berasal dari fosil. Berbagai kampanye pemerintah dan lembaga pemerhati lingkungan harus terus dilakukan. Tentu saja ini membutuhkan kebijakan pemimpin negara yang mendukung kelestarian lingkungan dan ekosistem yang ada.

Perencanaan pengembangan wilayah pun sudah menghitung perbaikan kualitas hidup manusia dengan dukungan lingkungan. Ruang terbuka hijau digalakkan. 

Taman-taman kota diperbanyak yang tidak hanya membuat keindahan tetapi berfungsi ganda sebagai tempat wisata dan paru-paru kota. ini dikenal dengan istilah ekologi kota.

Selain itu, kesadaran masyarakat juga perlu ditingkatkan akan pentingnya menjaga lingkungan. Di atas semua itu tetap diperlukan hadirnya dukungan pemerintah melalui kebijakan pro-perbaikan lingkungan. 

Pemerintah diharapkan hadir dalam menjaga masyarakat dari colekan reklame pro kapitalisme. Ini bisa didahului dengan kebijakan pemerintah yang anti-kapitalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun