Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Alumni Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kisruh Data dan Lemahnya Literasi Statistik

11 November 2019   19:42 Diperbarui: 12 November 2019   23:02 1924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi membaca data statistik. (sumber: pexel.com via kompas.com)

Memang benar. Dan seperti itu. Tidak ada pihak yang benar-benar puas dan terhapus dahaganya. Saat sebuah data dirilis dari sebuah gedung di Jakarta sana. Data hasil perhitungan dengan metode statistik. Yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Betul juga. Data BPS itu ibarat pisau bermata dua. Kedua sisinya berbeda. Ada yang dibuat tersenyum manis. Adapula yang tersenyum kecut dibuatnya. Tapi sebagian besarnya malah dibuat gundah gulana dan seperti kehilangan legitimasi di khalayak.

Data BPS bisa bersifat elektoral. Dijual di masa kontestasi pemilu. Membuat seseorang dicintai rakyatnya. Ataupun sebaliknya. Berguna pada kontestasi pemilu atau malah menyudutkan sang petahana.

Tak terkecuali seseorang bisa kehilangan jabatannya sesaat setelah sebuah data dirilis. Divonis tak mampu bekerja sesuai target. Data statistik itu yang menjadi alat evaluasinya. Berhasil atau gagalnya sebuah program. Baik atau buruknya kinerja seseorang dan pemerintah.

Tak ayal jika begitu banyak orang tak suka BPS. Wajar saja. Karena data BPS bisa bergerak sangat liar menyasar banyak orang. Bahkan memberi cap gagal atau sukses terhadap kinerja.

Dari situ, sebenarnya ada hal yang mesti diketahui netizen yang budiman. Data yang dirilis oleh BPS itu merupakan hasil survei dan atau sensus. Tidak jadi begitu saja. Namun melalui proses statistik yang begitu panjang dan melelahkan.

Sedari itu, jangan lagi ada yang berkomentar seperti ini saat rilis data kemiskinan : "Ah itu hasil darimana, kok angka kemiskinan segitu?"

Parahnya lagi, oknum netizen itu hanya menggunakan metode eye estimate sebagai pembanding. Itu lo, metode pandangan mata dan metode perasaan hati. Bukan dengan metode statistik yang teruji. Atau yang sering dimaknai secara keliru, yakni tentang batas garis kemiskinan 2 Dolar AS.

Padahal 2 Dolar di situ bukan nilai tukar atau kurs. Tetapi merupakan purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli yang setara dengan Rp 5.341,50 per 1 Dolar AS. Angka konversi ini menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli barang atau jasa yang nilainya sama jika dibandingkan dengan barang dan jasa yang dapat dibeli senilai 1 Dolar AS.

"Beberapa tanggapan miring akan data BPS justru menjadi pertanda bahwa data BPS cukup dianggap. Data BPS sudah memengaruhi banyak pihak. Bisa menentukan sukses-tidaknya sebuah program kerja pemerintah."

Lalu, belakangan muncul ketidakpercayaan beberapa ekonom terhadap data PDB atau pertumbuhan ekonomi. Katanya, kok bisa tumbuh di atas angka prediksi mereka sih?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun