Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Alumni Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tukang Sensus

29 September 2018   07:11 Diperbarui: 29 September 2018   07:43 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap kali merilis angka kemiskinan di Indonesia, seketika itu nama Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi ramai diperbincangkan. Angka kemiskinan selalu menjadi polemik. Nama BPS dibawa-bawa karena sebagai Lembaga yang menghitung angka kemiskinan. Namun, masih sering ditemui orang yang tidak tahu-menahu tentang BPS.

Masyarakat lebih mengenal petugas lapangan BPS dengan sebutan tukang sensus. Tukang survei. Atau dengan sebutan lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan sebutan "BPS". Salah satu dampaknya adalah munculnya pertanyaan di setiap rilis data BPS. Baik itu tentang angka kemiskinan, data ketenagakerjaan (pengangguran), pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan data strategis lainnya. Biasanya netizen bertanya, data kemiskinan itu dari mana? Yang didata siapa? Kok ujug-ujug muncul data kemiskinan.

Angka yang dirilis oleh BPS adalah hasil survei atau sensus. Bukan angka yang langsung jadi. Prosesnya panjang hingga pada tahap rilis. Angka yang dirilis itu adalah kumpulan informasi dari masyarakat Indonesia yang terpilih menjadi responden. Tentunya sesuai dengan kaidah ilmu statistik.

Sebenarnya masih banyak tantangan terhadap proses pengumpulan data. Penolakan dari responden masih sering terjadi. Selama ini para petugas lapangan menyiasati dengan melakukan pendekatan secara persuasif. Terkadang masih ada yang betul-betul tidak mau didata. Padahal data mereka dijamin kerahasiaannya dan dilindungi oleh undang-undang no.16 tahun 1997 tentang statistik.

Penolakan responden bisa diminimalisir dengan menguatkan aturan hukum. Misalnya dengan menerapkan sanksi terhadap pihak yang menolak didata berdasarkan undang-undang statistik.

Heboh angka kemiskinan di zaman hoax seperti saat ini adalah tantangan memasyarakatkan data. Patut diakui jika ilmu statistik tidak sesederhana pikiran kita. Memaknai data statistik mesti dilakukan dengan telaah akademik secara mendalam.

Ada pihak yang sengaja menyebarkan hoaks seperti yang ramai diperbincangkan. Yang angka penghasilan RP11 ribu per hari tidak miskin. Sudah jelas meme di dunia maya ini adalah hoaks. Angka garis kemiskinan tidak sesederhana itu dengan langsung membaginya dalam hitungan per hari. Tidak begitu.

Standar kemiskinan selalu berubah tiap periode. Maret dan September setiap tahunnya selalu berbeda. Angka itu berubah sesuai hasil survei sosial ekonomi nasional (susenas). Mengikuti pola konsumsi penduduk. Dan tentu saja berdasarkan harga komoditi terbaru yang berlaku di wilayah pengumpulan data.

Ada hal yang lebih penting untuk dibahas selain angka kemiskinan. Dimana hal ini sudah mencakup data kemiskinan di dalamnya. Yakni rencana program satu data Indonesia. Menyamakan persepsi akan konsep beberapa data yang dimiliki oleh lembaga negara dan instansi pemerintah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa saat ini data belum seragam. Masih terdapat perbedaan data yang dimiliki lembaga-lembaga pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan metodologi. Lalu, data yang mana yang akan dijadikan patokan? ini cukup riskan mengingat perbedaan data akan menyulitkan pengambilan keputusan pemerintah.

Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa data yang diakui hanya data BPS. Namun hal ini harus ditindaklanjuti dengan penguatan Undang-Undang Statistik. Dimana independensi BPS perlu dijaga betul. Dan yang terpenting adalah adanya jaminan kepastian hukum sehingga tidak terjadi lagi penolakan responden terhadap pengumpulan data.

Momentum Hari Statistik Nasional, 26 September bisa menjadi langkah awal penguatan undang-undang tentang statistik. Tidak menutup kemungkinan untuk menyamakan kedudukan BPS seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Maksudnya dalam hal kekuatan lembaga. Bukan kesamaan tugas dan fungsi.  Mungkin bisa dikaji lebih mendalam oleh para pakar dan wakil rakyat di Gedung DPR.

Memberikan full power kepada BPS dalam pelaksanaan tugas perstatistikan nasional akan menambah keakuratan data. Yang lebih penting lagi dalam menjaga independensi. Jika kita sudah sadar bahwa data itu sangat penting bagi masa depan bangsa ini, maka sudah menjadi kewajiban pemerintah dan seluruh masyarakat untuk mendukung terciptanya satu data Indonesia.

Sederhana. Berikan data yang sebenarnya jika menjadi responden. Baik itu penduduk perorangan, lembaga pemerintah, swasta, organisasi sosial masyarakat, dan lain-lain. Jika sudah terpilih menjadi responden, maka jujurlah dalam memberi data. Jawaban Anda menentukan masa depan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun