JIka saja dia ingin silariang, malam itu, mungkin mereka sudah berada di belahan bumi yang lain dan melanjutkan hidupnya tanpa keluarga besarnya. Tapi Mappa masih memegang teguh prinsip hidupnya.
Setelah lama menunggu, orang tua Nur memanggil Mappa melalui Nur. Mereka meminta kejelasan niat Mappa yang ingin meminang anaknya. Mappa akhirnya mengakui jika syarat uang panai yang diminta pihak keluarga Nur tidak bisa disanggupinya. Mappa masih meminta keringanan jika saja orang tua Nur mau berbaik hati kepadanya. Mappa memohon uang panai itu dikurangi. Tapi orang tua Nur tidak bergeming. Keputusan sudah bulat, tidak ada lagi tawar-menawar.Â
Mappa hanya bisa meminta tambahan waktu untuk bisa memenuhi syarat itu..Sungguh malang nasib Mappa. Di tengah usahanya mengumpulkan uang, sahabat baiknya melamar Nur. Memang Passa' telah lama menaruh hati kepada Nur, tapi karena Mappa lebih duluan mengungkapkan isi hatinya kepada Nur, akhirnya Passa' hanya bisa memendam perasaannya. Passa' tetap berharap, pokoknya selama janur kuning belum melengkung, Nur masih milik bersama.Â
Dan dia buktikan, Passa' yang mendengar Mappa tak bisa memenuhi syarat dari orang tua Nur, memberanikan diri melamar Nur. Keluarga Passa' terkenal cukup kaya di kampungnya. Puluhan hektar sawah dan kebun jagung dikelolanya. Sekali panen saja, syarat uang panai itu tak terlalu berat baginya. Akhirnya, orang tua Nur menerima pinangan Passa'.
Saat membaca undangan pernikahan itulah, Mappa kehilangan pijakannya. Dia seperti hidup di bawah alam sadarnya.Â
Sejak pernikahan itu, Mappa seperti mayat hidup. Hidupnya berantakan. Wajahnya kusut tak bersemangat sedikit pun. Tubuhnya sangat kurus. Mungkin karena beban pikiran yang menderanya. Belum lagi kematian ibunya yang sangat mendadak. Ditambah kabar ayahnya yang terkena razia di tanah rantau dan belum ada kabar terbaru darinya.Â
Sungguh malang nasib Mappa. Cobaan hidupnya teramat berat. Dia tak bisa memikulnya. Walaupun masih ada setitik harapan hidupnya. Dia tak mengakhiri hidupnya hanya karena patah hati. Walaupun separuh napasnya tak sehangat dulu lagi. Dia linglung. Kehilangan arah hidup. Tak tahu harus berbuat apa lagi.Â
Sekarang, Mappa hanya berjalan mengitari desa menemani sang mentari di siang hari. Dan merenung di beranda rumahnya menemani sang rembulan di malam hari.
Bersambung...
Cerita Sebelumnya klik Sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H