"Ini ikannya, Pak Ustad." Kata Ibu pemilik warung makan sambil memberikan senyum.
"Kok dua ekor, Bu? Banyak sekali ini."
"Nggak apa-apa Pak Ustad, itu sebagai permohonan maaf kami karena ikan yang Pak Ustad pesan diambil orang lain. Silakan, Pak Ustad, panggil saja kalau masih butuh tambahan nasi putih."
"Alhamdulillah, terima kasih, Bu. " Jawab lelaki yang tak muda lagi itu namun juga belum memasuki usia tua.
Rupanya, ikan pesanan lelaki berseragam abdi negara itu diambil orang lain. Si Ibu sang empunya warung juga tidak menyadarinya. Banyaknya pengunjung warung makan tepat jam makan siang menjadi musababnya. Belasan orang terlihat antri, Ibu pemilik warung hanya dibantu oleh suaminya. Sesekali dibantu anaknya yang sedang libur sekolah.
Lelaki yang dipanggil Pak Ustad itu bernama Rahing. Entah karena alasan apa, dia dipanggil dengan nama Pak Ustad. Padahal tampangnya tidak ada penanda kalau dia itu seorang ahli ibadah.
Mungkin karena jenggot kritingnya yang jumlahnya tak seberapa. Songkok pun tak dipakainya. Sarung apalagi.
Sampai detik ini, Rahing masih bingung dengan penamaannya. Tapi dia enjoy aja, yang jelasnya sepiring nasi, ikan bakar, dan semangkuk sayur akan mendarat di perutnya. Mengisi lambung yang sudah teriak kelaparan. Maklum, Rahing adalah salah seorang yang membiasakan diri untuk tidak sarapan pagi.
Hampir setiap hari, Rahing memilih warung ini sebagai tempat makan siang. Makanannya cukup enak, rasanya sekelas restoran mewah. Harganya lumayan terjangkau bagi Rahing yang menyukai makanan pedas.
Meskipun bangunan fisik warung makan cukup sederhana, namun rasa makanan yang ditawarkan sekelas restoran mahal. Warung hanya berdinding kayu, jendela rajutan kawat besi, dan seng sebagai pelindung dari sengatan mentari. Karena bangunan tidak terlalu tinggi, dijamin keringat akan mengucur sebelum sambal pedas menembus lidah. Jangan cari pendingin ruangan seperti AC, sebuah kipas angin saja sudah lumayan.
Yang menarik, sesekali angin sepoi-sepoi menampar wajah Rahing yang terhias cucuran tetes keringat. Asap pun sesekali mengaburkan pandangan. Semua bergantung arah angin, ke mana asap akan dibawa serta. (Biarlah asap mengikut ke mana arah angin berhembus, tapi hidupmu jangan! Kamu harus punya tujuan hidup yang jelas, eh).Â