Pepohonan nan rindang di puncak gunung menghangatkan jiwa yang sepi. Perjalanan di tengah puncak kerinduan ingin pulang ke peraduan. Tapi malam mengisyaratkan menunda perjalanan pulang. Singgah di gubuk indah penuh canda ria penduduk desa. Jiwaku berangan ingin tinggal di pedalaman. Sejuk paginya, tenang malamnya ditemani alunan musik penghuni hutan. Namun tugas menuntunku tuk terus berjalan di setapak jalan sempit di tengah hutan.
Saat fajar memaksa tuk membuka mata. Kuatur napas tuk menyeimbangkan rasa di jiwa. Menyiapkan diri tuk menjalani penatnya hari. Melangkahkan kaki ditemani teriknya sang mentari. Memompa semangat yang terkadang hilang ditelan perasaan malas tak berlimit. Jika saja tak punya niat kuat menjaga amanah, sudah kularutkan semua kertas di sungai hingga menuju laut tak bertepi.
Kuatur langkah di atas bumi berpijak. Dengan ransel penuh rekaman angka dari keragaman manusia tuk negeri tercinta Indonesia. Sesekali meneguk segarnya air di telaga yang tercipta tuk menghilangkan dahaga. Memastikan tubuh masih memompa darah tuk menyambung napas. Hari-hariku ditemani sebuah pensil gratis dari negeri, teruntuk mengukir angka-angka penuh sejarah. Angka yang telah lama dirindu tuk dikirim melayang ke atas awan. Bukan angka dari langit tuk kembali ke awan.
Kami tetap melangkah di jalan yang telah digariskan oleh hierarki. Takkan tergoda tuk mencoba jalan lain di antara semak yang menyakitkan, walau Nampak penuh berbunga indah. Jiwa kami tak haus akan siraman air berwana warni. Idealism takkan tergadai tuk lembaran penuh angka rupiah dalam amplop yang tersamarkan asal usulnya. Biarlah hidup tetap menuju arah “berkah” yang lebih menjanjikan di alam nanti yang tak berkesudahan.
Warna kuning masih dominan di ransel punggung. Lembarannya terhingga, namun cukup melelahkan tuk dibawa pulang. Mengisi tiap kotak dengan rahasia seorang anak manusia. Sebuah rahasia yang dijaga oleh negeri karena kan bermafaat sangat besar tuk negeri. Satu kesalahan kan menjadi sangat fatal buat ratusan ribu kepala, bahkan tuk ratusan juta manusia Indonesia tercinta.
Jika dahaga membuatmu sedikit berpaling dari garis keharusan, maka ingatlah tujuan untuk apa kita diciptakan. Tak ada satupun alasan tuk berkhianat dan meracuni diri sendiri. Walau tubuh sesekali tak mampu mengikuti jalan yang telah ditentukan. Padahal penanda sangat jelas di depan mata. Cukup mengikuti rambu dan kita selamatkan harapan untuk masa depan lebih cerah.
Jangan berbalik pulang dengan tangan hampa. Apalagi dengan bualan penuh pepesan kosong. Karena yang demikian kan menyesatkan ratusan juta penduduk negeri. Dan itu semua ada di ujung pensil. Jika salah mengikuti garis, maka dosamu takkan mampu dipikul hingga garis akhir kehidupan, kecuali dapat bonus dari Sang Pencipta.
Janjimu kan ditagih di hari pembalasan. Hari yang sudah pasti kan menunggu. Dimana mulut tak akan berucap kebohongan. Tangan kan bercerita tentang ujung pensil yang digoreskan di atas kertas penuh kotak kosong. Tanganmu kan menentukan tempat terakhirmu yang kekal abadi.(*)
Gowa, 6 Maret 2017
Muhammad Aliem
baca juga Klik di sini