Dua istilah yang cukup populer di kalangan suku-ku, suku "makassar" dan suku istriku "bugis". Kedua istilah tersebut bisa saja terjadi karena "sebab-akibat" atau "causalitas".
Tahun lalu sempat dibuatkan film dengan judul yang sama "uang panai mahal(r)" . Film ini sempat merajai bioskop di makassar. Tahun ini juga ada film " silariang" yang akan diputar di bioskop. Original Soundtracknya sudah bisa diliat di yo*tub*. Search aja, pasti nemu. Lagunya pun lagu lama dipoles kembali. Lagu berjudul "sajang rennu" yang merupakan lagu berbahasa bugis. Saya cuma suka denger, tapi gak terlalu ngerti artinya, istri saya yang tau betul artinya dan sering senandung, maklumlah dia berdarah bugis. Lagu ini adalah salah satu lagu favorit karena musik dan liriknya enak didengar, sangat menyayat hati pastinya...
Istilah uang panai selalu dibahas setiap proses lamaran seorang pria yang ingin meminang calon istrinya. Tapi sy nggak bakalan bahas secara rinci apa itu uang panai, cukup anda nanya ke mbah google aja. Seringkali uang panai terlalu tinggi /mahal sehingga seringkali menjadi batu sandungan bagi dua orang sejoli untuk mengikat janji suci pernikahan. Tak heran jika gara-gara tingginya uang panai', banyak kasih tak sampai dan harus kandas di tengah jalan.
Nah, saat si pria ngga sanggup membayar uang panai, di sinilah seringkali "silariang" menjadi salah satu pilihan untuk menyatukan cinta mereka. Ada juga yang melakukan "Silariang" karena tidak direstui oleh orang tua. Masih ingat film "badik titipan ayah" dimana pemeran utamanya adalah Reza Rahadian yang actingnya memikat hati. ceritanya, adiknya yang bernama Tenri dibawa lari oleh pacarnya karena hubungan mereka tidak direstui. Karena adiknya dibawa lari, maka keluarganya menanggung malu atau istilahnya "siri".
Si Aso yang diperankan oleh Reza diutus ayahnya untuk mencari mereka berdua kemudian menyelesaikan secara adat. Dititiplah sebuah senjata tradisional "badik" untuk menyelesaikan urusan mereka.
"Silariang" atau kawin lari memang tumbuh subur di kala uang panai terlalu mahal dan kadang tidak realistis. Betapa banyak laki-laki yang masih harus membayar uang panai secara "cicil" karena tak sanggup membayarnya. Padahal agama Islam jelas mengajarkan untuk mempermudah proses walimah. Lebih baik jika uang panai tidak terlalu tinggi namun Si Laki-laki mampu membiayai makan istri dan anak-anaknya dibanding Uang panai mahal tapi masih harus dicicil bertahun-tahun. Ayo pilih mana?
Saat kawin lari "silariang" menjadi pilihan, yang rugi juga pastinya seluruh keluarga. Selama beberapa tahun mereka yang melakukan "silariang" takut pulang ke keluarga. Namun saat tertentu, mereka akan pulang jika keluarga dari kedua belah pihak (terkhusus keluarga perempuan) sudah lapang dada menerima pernikahan mereka.
Saya bersyukur karena cukup dimudahkan saat menikah dulu. Saat mertua mengatakan "saya tidak menjual anakku". Padahal daerahnya cukup terkenal dengan uang panai yang tinggi. Mudah-mudahan tradisi bisa tetap dijalankan tanpa memberatkan pasangan yang telah berniat suci menyatukan hati. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H