Mohon tunggu...
JUM'AN BASALIM
JUM'AN BASALIM Mohon Tunggu... -

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebahagiaan Sintetis

9 Desember 2010   06:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:53 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Jum’an

Seandainya ada sebuah mesin yang dapat dirancang demikian canggih dengan tempat duduk untuk pemakainya dilengkapi dengan macam-mcam pencetan, puteran, kabel-kabel, colokan dan helm yang dapat merangsang otak agar berfikir dan merasakan apa saja yang kita inginkan. Rasa bahagia seorang pengantin baru, kepuasan seorang juara dunia atau kenyamanan seorang Bill Gates. Pokoknya semua kenikmatan yang biasanya kita sebut bahagia. Kalau saja mesin itu benar-benar ada, apakah anda berminat duduk diatas kursi-bahagia itu untuk selamanya? Daripada menghadapi ketakutan, ketidak-tentuandan kekhawatiran hidup yang tak ada hentinya, why not? Kalau anda masih ragu-ragu biarlah saya mencobanya lebih dulu, bismilah. Sejak dulu saya memang ingin hidup senang bebas dari ancaman kehilangan kerja, tagihan yang tidak terbayar atau rumah tergusur. Ingin rasanya hidup setiap saat bergairah, aman nyaman dan lega.

Nah sekarang saya duduk diatas kursi-bahagia ini, merasakan benar-benar kenikmatan seorang pengantin baru. Persis seperti yang anda alami dulu atau nanti kapan-kapan.Sendiri tanpa ada orang lain disekitar saya. Jangan tegur saya sebab saya bukan hanya sekedar duduk diam tetapi sedang menikmati rasa pengantin baru. Memang kelihatan aneh, cengar-cengir sendirian. Betapapun bahagianya rasa pengantin baru tapi berbeda dengan benar-benar mengalaminya. Dengan pasangan disamping kita, tamu-tamu yang menyalami, orkes dangdut yang menghibur dan anak-anak yang berseliweran. Yang saya rasakan ini kebahagiaan sintetis namanya! Bukan yang asli. Tidak berbeda dengan yang dirasakan penghisap ganja barangkali. Kebahagiaan sejati selalu memerlukan orang lain tidak mungkin dialami sendirian. Kursi-bahagia ini tidak sesuai dengan cita-cita yang saya idam-idamkan. Biar saya singkirkan saja mesin ini jauh-jauh.

Saya mau kebahagiaan sejati. Tetapi yang awet dan tahan lama bukan yang sekali pakai lusuh atau seperti hujan yang sesekali turun lalu disusul oleh kemarau panjang. Sekali naik gaji, tiga bulan sudah hilang rasanya menguap oleh kenaikan harga-harga. “Mas, pernikahan saya hanya tiga bulan bahagianya, tigapuluh tahun selanjutnya penuh sengsara”, begitu gurauan seorang teman saya. Meskipun itu hanya lelucon ada juga benarnya bahwa rasa bahagia didunia ini bersifat volatile yaitu mudah menguap dan cepat hilang. Adakah kebahagiaan yang bisa bertahan lama? Ataukah memang sudah bawaan asal manusia yang cepat bosan? Pada tahun 1970 pernah dilakukan sebuah penelitian yang terkenal. Sejumlah pemenang lotre di Amerika, dari yang menang ratusan ribu sampai yang jutaan dolar, diikuti kehidupannya terus dari waktu ke waktu. Ternyatai sesudahsekitar 18 bulan mereka sudah tidak lebih bahagia dari sebelum mereka memenangkan lotre. Kebahagiaanya menurun kembali seperti semula.

Fenomena ini disebut hedonic adaptation yaitu kecenderungan manusia untuk dalam waktu tidak lama kembali ketingkat kebahagiaan aslinya baik setelah mengalami suatu guncangan drastis yang menyenangkan ataupun sebaliknya. Tiap orang seperti sudah ada takaran kebahagiaannya sendiri. Apakah memang benar-benar demikian, wallohu a’lam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun