Mohon tunggu...
JUM'AN BASALIM
JUM'AN BASALIM Mohon Tunggu... -

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terjebak Oleh Takhayul

14 November 2010   12:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:37 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak kecil saya sudah terlibat takhayul. Waktu saya meninggalkan desa, nenek saya menitipkan segenggam tanah dibungkus kain putih untuk ditaruh dikolong tempat tidur agar saya betah selama tinggal dikota. Sampai sekarang saya selalu merasa was-was jika kejatuhan cicak, apalagi menabrak kucing. Itulah takhayul saya. Anda mau tahu takhayul yang lebih heboh? Tahun 2008 cendekiawan Islam Dr. Said Agil Husin Al- Munawar lulusan Universitas Ummul Quro Mekkah, Menteri Agama saat itu, dengan sepengetahuan Presiden Megawati, berupaya membongkar situs purbakala Batutulis di Bogor karena menurut bisikan gaib dibawahnya ada sejumlah harta karun.

Takhayul adalah kepercayaan bahwa sesuatu (barang, tindakan atau keadaan) yang secara logika tidak ada hubungannya dengan suatu rangkaian peristiwa dapat mempengaruhi hasil akhirnya. Takhayul jelas tidak rasional tetapi juga tidak mendesak untuk diperdebatkan. Tetapi banyak orang yang terpengaruh bahkan mengandalkan takhayul dalam kehidupannya dengan harapan dapat memperoleh keberuntungan. Psikolog sosial Lysann Damisch dari Universitas Koln Jerman mengamati banyaknya olahragawan kelas atas yang menganut perilaku takhayul sebelum mereka memulai pertandingan. Mereka pasti merasa memperoleh manfaat dari takhayul itu. Sebagai ilmuwan Damisch bersama dua orang koleganya lalu melakukan penelitian ada tidaknya manfaat serta bagaimana meknisme takhayul menjalankan aksinya.

Sebagian dari eksperimen itu membuktikan bahwa mempercayai takhayul ternyata telah membangkitkan rasa percaya diri untuk mencapai sasaran, yang selanjutnya secara psikologis meningkatkan kinerja orang itu. Hasil penelitian ilmiah ini seyogyanya dapat mencegah anda untuk tidak melecehkan takhayul. Tetapi seandainya anda menghargai penemuan ini, mungkin tetap saja tidak ada gunanya  bagi anda. Pengaruh takhayul sangat-sangat bergantung kepada keyakinan anda pada kekuatan yang melekat didalamnya. Sekali anda mengakui bahwa kinerja seseorang adalah sesuai dengan logika dan tidak ada hubungannya dengan mistik, maka percaya diri anda tidak akan tergugah oleh takhayul. Perasaan “Saya Bisa”, akan lenyap segera setelah anda ingat  bahwa tidak ada kekuatan luar atau mistik apapun yang dapat mempengaruhi kinerja  anda– kecuali anda dan kemampauan anda. Kekuatan takhayul akan sirna seperti ketakjuban anda pada keindahan bulan sirna setelah anda tahu bahwa bulan hanyalah sebuah planet gersang dan kering.

Bagaimanapun takhayul merupakan salah satu musuh besar dari kebenaran. Penganut takhayul umumnya terlalu percaya dan puas dengan pendapat sendiri dan cenderung menolak bukti-bukti yang logis bahwa mereka keblinger. Flat Earth Society adalah suatu komunitas di California yang mendakwahkan keyakinan bahwa bumi itu datar dengan matahari, bulan dan bintang-bintang berada ratusan kilometer diatas permukaan bumi. Semua bukti ilmiah mutakhir bahwa pandangan itu keliru, ditolak mentah-mentah.

Kalau benar Menteri Agama kita waktu itu mendapat bisikan gaib adanya harta karun di Bogor, jangan-jangan beliau merasa bisikan itu berasal dari Malaikat!! Dari mana lagi? Kalau tidak benar-benar bersikap kritis, kita yang meyakini kemaha-kuasaan Alloh memang mudah tergelicir untuk berfikir bahwa segala-sesuatu itu mungkin saja terjadi, tanpa sebab sekalipun, yang selanjutnya dapat menjerumuskan kita percaya kepada mempercayai takhayul. Sikap kritis adalah hasil dari pendidikan, latihan, kebiasaan mental serta kekuatan. Kalau sakit takhayul sulit diobati, sikap kritis setidak-tidaknya dapat mencegah khayalan, penipuan, takhayul, dan salah paham yang menyesatkan. Letusan gunung tidak dapat dicegah dengan sesajen dan menggandakan uang seperti yang sering kita dengar adalah tipu. Percayalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun