Perempuan setengah baya tersebut beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan anggun menuju kamar tempat menyimpan kotak perhiasan kesayangannya. Dibawanya kotak itu ke depan suaminya.
Satu persatu dikeluarkan perhiasan miliknya. Tak ketinggalan cincin bermata berlian tanda cinta dari kekasihnya yang masih tetap gagah meskipun sebagian rambutnya mulai memutih.
Terbayang lagi sore itu, saat semilir angin berhembus pelan. Daun-daun bergoyang perlahan. Terik matahari yang menyengat sepanjang hari mulai berkurang. Sepasang sejoli duduk saling beradu pandang.
"Ma... kok diam termangu begitu, melamun ya?"
"Iya pa. Tiba-tiba mama teringat memori senja itu...".
Lelaki itu tersenyum. Diraihnya pundak istrinya, kemudian ia mengecup keningnya. Sambil mengelus kepala sang istri ia berkata, "Sebaiknya jangan dijual perhiasan ini. Jika bisa digadaikan, mengapa harus dijual. Jangan biarkan romantisme itu sirna. Titipkan saja, agar kita dapat mengambil kembali saat kita bisa!"
Sore beranjak malam. Sayup-sayup terdengar adzan Maghrib berkumandang. Sepasang sejoli itu bersiap-siap menuju masjid. Shalat berjamaah, sebagai tanda syukur atas cinta yang terus tumbuh dari waktu ke waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H