Mohon tunggu...
Frans Abednego Barus
Frans Abednego Barus Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Paru

seorang insan medis biasa yang ingin membagi wawasan dan share ilmu pengetahuan. Anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia sejak 2004

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ke Luar Negeri, Ku kan Berobat? (1)

6 Agustus 2014   00:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:20 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1407235081697625992

C. Mahal bukan main

Di RS swasta sudah terkenal kalau masuk dirawat uang akan kelaur berjut jut bikin terkejut, Rawat hanya 4 hari biaya sampai 20 juta. Nah... permasalahnnya tidak transparansinya tarif, sama seperti rumah makan minang kita tidak pernah bertanya rendang berapa, nasi berapa, sayur berapa, sambel telo berapa. Taunya setelah kenyang. Yang lebih menyakitkan lagi pasien merasa tak puas dilayani, oleh dokter dan perawat begitu rekening keluar banyak yang harus dibayar. Bila puas berapa pun pasien dengan senang hati membayar. Pasien juga perlu detail mendapat informasi apa apa saja posting yang harus dibayar. Buka sekedar kamar tetapi embel embel lain seperti obat, laboratorium, radiologi, tidakan medis dan keperawatan bahkan tissue sekalipun pasien harus dijelaskan. Agar tidak cekcok dikemudian hari. Bila sudah dijelaskan maka pasien harus tanda tangan tanda nya sudah dijelaskan item item yang mungkin akan dibebankan kepada pasien dan tidak salah meminta rincian biaya per hari, Karena bila waktu pulang print out tagihan akan membuat pusing bila dibaca satu per satu

D. Alat kesehatan jadul dan tak lengkap

Banyak RS yang beroperasi dengan standar dan mutu alat kesehatannya dipertanyakan. Walau syarat kalibrasi alat rutin itupun tidak dilaksanakan demi menekan biaya. Belum lagi harga investasi alat kesehatan sangat lah tinggi dan pengadaan nya pun hati hati. Operator yang tidak terlatih, dan maintenance mesin yang kurang diperhatikan membuat akurasi pemeriksaan tidak akurat. Banyak RS masih menggunakan alat jadul, misalnya CT Scan yang standar dengan potongan 64 slice per cm namun di luar negri standar 128 slice untuk keakuratan. MRI 1,5 Tesla sudah biasa di RS swasta atau RSUP namun beberapa negara sudah menerapkan 3 Tesla untuk keakuratan. USG 4 dimensi  (4D) belum tentu dimiliki oleh Rumah bersalin yang kecil. Kecanggihan alat alat terkomputerisasi di RS luar negri akan membuat perasaan pasien tenang didukung oelh penjelasan klinisi yang terang benderang. Alat kesehatan yang tak lengkap membuat pasien mondar mandir ke RS ini dan itu dan tidak dilayani "one stop service" akan membuang waktu pasien. dalam keadaan sakit di ping pong lagi begitu keluhan mereka

E. Tidak ada standar sarana RS

Standar kamar misalnya meliputi pencahayaan, suhu kamar, luas kamar, banyak tempat tidur per kamar yang berbeda antar satu RS. Tak jarang kita jumpai kamar yang sempit sehingga dokter dan perawat sulit bergerak. Kondisi yang ramai membuat kamar bak pasar senggol, tanpa dukungan pendingin maka pasien banyak yang dikipas dengan menggunakan kipas cak Dul si tukan sate. Pemandangan ini sering tampak di RSU/RSUD belum lagi mempersoalkan aroma sehingga mencari WC nya sangat mudah cukup dengan mengendus seperti anjing pelacak. Sistem penerangan, sistem sanitasi, air dan siskulasi banyak manajemen RS yang menganggap itu tidak penting. Hal ini membuat pasien dan keluarganya tidak betah dan jangan harap kembali. Di RS swasta kita juga temukan standar kebisingan yang tidak diperhatikan karena tidak dibatasi jam berkunjung, parkir yang penuh sehingga sulit bahkan kadang ribut di parkiran, standar antrian pasien rawat jalan juga kerap bermasalah. Dan hal hal ini tidak kita jumpai bila berobat ke luar negri

Kompasioner yang budiman, tentu bagian lain masih banyak hal hal yang membuat pasien enggan berobat di dalam negri andai bisa memilih. Namun untuk pasien yang dirawat di dalam negri tentu menyedihkan apabila tidak dilayani dengan baik bukan ??

Tulisan saya masih mempunyai bagian 2, opini otokritik dan masih dapat didiskusikan


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun