Berawal dari keinginan dari saya untuk bereuni dengan teman ketika SMA, saya iseng untuk mengajak mereka mendaki gunung dibandingkan sekedar bertemu di warung kopi atau rumah makan. Ternyata ajakan tersebut disambut antusias oleh teman-teman SMA saya dulu. Kegiatan yang terakhir saya lakukan sekitar 4 tahun lalu pada tahun 2020.
Gunung Tapak berlokasi di Bedugul, Tabanan, Bali. Daerah yang memang sudah terkenal sebagai daerah wisata karena keberadaan Kebun Raya Bedugul. Lokasi ini kami pilih karena dekat dengan banyak tempat wisata, jadi ketika cuaca tidak memungkinkan untuk mendaki, kami bisa menikmati tempat wisata lain yang ada di sana.
Perjalanan di Gunung Tapak dimulai dengan menempuh perjalanan hampir 2 km menuju titik awal pendakian. Meskipun kelihatannya jauh, tapi tenang saja karena jalan yang ditempuh masih terbilang cukup landai. Jadi perjalanan saya lakukan dengan sedikit santai sambil menikmati suasana hutan berkabut. Hitung-hitung sambil pemanasan setelah duduk lama di perjalanan menaiki sepeda motor.
Selama perjalanan menuju puncak, saya sangat tertarik dengan bangunan bekas proyek geotermal terbengkalai yang ada tepat sebelum titik awal pendakian dimulai. Bangunan terbengkalai ini memberi kesan dunia pasca kiamat yang kerap ada di film-film, apalagi lokasinya yang berada di tengah hutan dan dikelilingi perbukitan. Mungkin mirip seperti film A Quite Place atau game Fallout jika dipikir-pikir.
Titik awal pendakian dimulai ketika kami memasuki area hutan rimbun yang basah akibat sedang musim hujan. Untungnya saat kami mendaki cuaca terbilang cerah dan aman untuk melakukan pendakian. Untuk awal perjalanan, jalan yang ditempuh terbilang bervariasi. Jalan didominasi dengan medan yang landai, tetapi ada beberapa tanjakan kecil juga yang harus kami lewati.
Sekitar seperempat perjalan, kami bertemu dengan dua orang pendaki yang telah turun dari puncak. Mereka berpesan untuk hati-hati terhadap pacet, hewan penghisap darah yang mirip dengan lintah. Tidak heran karena itu memang habitat mereka, ditambah saat itu sedang musim hujan. Pasti jumlah mereka sedang banyak-banyaknya.
Hampir setengah perjalanan telah kami tempuh dan medan yang kami lalui masih terbilang landai, meskipun ada beberapa tanjakan ekstrem yang memerlukan tali untuk memanjatnya karena tanah tempat melangkah sangat licin akibat sisa hujan. Selama perjalanan juga kami harus basah akibat keringat dan air seperti gerimis yang berasal dari kabut di sana.
Tanjakan mulai banyak kami lewati setelah lebih dari setengah perjalanan. Sulit untuk mengetahui sejauh mana kami berjalan karena tidak ada penanda seperti pos yang dipasang di sepanjang jalan. Penanda jalan hanya diberi pita dan tanda panah saja, sehingga tidak ada patokan pasti bagi kami sudah ada di titik mana.
Ketika hampir sampai menuju puncak, jalan yang kami lalui semakin becek karena tetesan air dan lingkungan yang lembab. Untungnya kami menggunakan sepatu khusus untuk mendaki yang memudahkan kami selama perjalanan.Â
Kami menyempatkan diri untuk beristirahat dengan makan cemilan dan minum air yang kami bawa dari rumah, sembari duduk menikmati suasana hutan ditemani bunyi beragam hewan seperti burung dan serangga.
Puncak berhasil kami capai dalam waktu dua jam. Kami langsung dihadang oleh seekor monyet yang entah mengapa terpisah dari kawanannya, meskipun sempat ingin menyerang kami untungnya dapat langsung teratasi setelah kami beri makanan yang kami bawa.
Hanya ada satu spot untuk berfoto pada puncak Gunung Tapak karena Gunung ini memang sejatinya adalah lokasi dari Makam Wali Pitu yang berlokasi tepat di puncaknya, yang ada Pura juga bagi Umat Hindu bersembahyang. Sayangnya kami kurang mengetahui informasi soal sejarah atau informasi makam tersebut karena tidak ada papan informasi atau orang yang dapat kami tanyai di puncak.
Kami beristirahat di puncak selama kurang lebih satu jam sembari berfoto. Â Tidak lupa kami juga bersembahyang di pura untuk memohon keselamatan, lalu melanjutkan perjalanan turun selama kurang lebih dua jam tiga puluh menit. Perjalanan turun lebih lama karena medan yang kami lalui terbilang licin dan jika terburu-buru agak berisiko terpeleset dan cidera.
Himbauan soal pacet pada awal perjalanan baru kami rasakan ketika turun. Ukuran pacet bisa dibilang kecil, kira-kira seukuran cacing, tetapi cukup mengganggu dan agak geli rasanya ketika mereka menempel di tangan kami. Belum lagi badan mereka yang licin makin menyulitkan kami melepaskan gigitannya.
Perjalanan turun ternyata lebih banyak menguras tenaga, mungkin karena kami harus memasang kuda-kuda kaki agar tidak terpeleset atau karena sudah kehabisan tenaga saat perjalanan naik.
Saat sampai bawah kami langsung mengganti pakaian kami dan segera mencari tempat untuk mengisi perut kami yang sudah keroncongan.Â
Senang rasanya bisa bereuni kembali dengan teman lama, bertemu sembari bercerita bagaimana perkembangan diri masing-masing dan membuat cerita baru yang mungkin dapat kami ceritakan kembali ketika reuni lagi nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H