Suatu hari, teman kerja yang sudah aku anggap seperti kakak sendiri menelponku. Masih opening obrolan saja dia sudah langsung menangis histeris. Aku sempat bingung, ada apa dengan dia?
Meski usianya jauh di atas aku, Ketika dia menangis tersedu-sedu, aku membayangkan dia seperti anak kecil menangis. Padahal, dalam keseharian, dia bersikap jauh lebih dewasa dan bijaksana dalam mengambil Keputusan juga dalam menjalani hidup.Â
Tapi, ternyata, dibalik sosoknya yang tegar, independent woman, tersimpan luka masa lalu yang masih membekas di hatinya. Aku kaget. Kok bisa kenangan masa lalu yang sudah terjadi puluhan tahun masih membekas dan terus menghantui hidupnya sampai sekarang ini.
Dia berkisah, kalau masa kecilnya sangat pahit. Kehadirannya di muka bumi ini seperti tidak diinginkan oleh ibunya. Karena, sejak lahir hingga beranjak remaja, dia sering diperlakukan secara tidak adil oleh ibu kandungnya sendiri.Â
Sering di nomer sekian kan dibanding dengan kakak-kakaknya. Bahkan kata-kata pedas sering ditujukan padanya jika melakukan kesalahan. Sampai akhirnya, perlakuan, perkataan dan Tindakan ibunya terus membekas dan menempel permanen dalam pikirannya.
Dia sudah mencoba melupakan masa lalunya yang kelam dengan segala kesibukan pekerjaannya, namun dikala hatinya sedang gunda dan mellow, kenangan masa kecilnya seakan menari-nari dalam pikirannya yang membuatnya diajak Kembali kemasa kecil yang penuh kenangan pahit itu.
Usai menelpon sambil menangis dengan segala gundah gulananya, aku berfikir sejenak. Apakah ini yang dinamakan Inner Child? Karena, dari beberapa artikel yang pernah aku baca, Inner Child adalah  istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagian diri kita yang terhubung dengan masa kecil.
Ini adalah bagian dari kepribadian kita yang terbentuk selama masa kanak-kanak dan masih memiliki pengaruh terhadap cara kita berpikir, merasa, dan berperilaku saat dewasa. Persis seperti apa yang dialami oleh sahabat aku itu.
Bahkan, dari perlakukan ibunya yang tidak adil itu membuat sosok sahabat aku ini terbentuk menjadi Wanita yang tegar, independent dan bisa melakukan apa saja.Â
Itu dilakukannya supaya dia ingin membuktikan pada ibunya, bahwa dia bukan anak yang tidak berguna. Anak yang tidak diharapkan, bahkan anak yang dianggap sial.
Dengan keteguhan hati, dia bangkit dan ingin membuktikan pada ibunya bahwa anak yang dulu dia anggap sebagai anak yang tak dianggap justru bisa menjadi anak yang dibanggakan.Â
Dengan kesuksesan dalam karirnya, sahabat aku ini malah menjadi tulang punggung keluarga yang bisa membiayai dan menafkahi orangtua dan saudaranya.
"Aku ingin membalas perbuatan ibuku dulu dengan memberikan kasih sayang dan perhatian hingga dia menutup mata." Kata temanku yang mengabdikan jiwa raganya memberikan yang terbaik pada ibunya sampai sang ibu meninggal.
Tapi, alangkah kagetnya aku, Ketika dia Kembali berkisah tentang masa lalunya yang kelam dengan isak tangisnya. Bukankah ibunya sudah meninggal? Bukankan dia sudah meaafkan ibunya?
Tapi, ternyata, meski dia sudah meaafkan, sudah mengampuni bahkan sudah membalas ketidakadilan dengan segala perhatian dan kasih sayang. Namun, kenangan masa kecil tetap membekas dan menempel dalam hatinya.
Dari kisah temanku, aku mencoba berkaca pada masa kecilku. Tentu aku juga punya inner child yang hampir sama dengan temanku itu. Sebagai anak laki-laki yang dibesarkan dari orangtua yang berprofesi sebagai Militer, tentu didikannya sangat keras. Sangat disiplin. Bahkan tidak segan-segan melakukan kekerasan secara fisik dan verbal.
Apakah aku pernah sakit hati pada bapakku? Tentu pernah. Bahkan, masa remajaku penuh kebencian terhadap bapakku. Sempat ingin membunuhnya (meski hanya planning anak kecil yang sedang marah).
Inner Child-ku sering mengikuti kehidupanku dengan penuh kebencian. Aku tidak suka sama bapakku. Bahkan, doa yang sering aku panjatkan agar bapakku cepat mati.
Menjadi anak pemberontak dan Ketika berada di luar rumah, aku menjadi rebel. Anak yang ugal-ugalan, mencoba apa saja yang dilarang. Merokok, minum dan drugs.
Sampai akhirnya aku tumbuh dewasa, bekerja dan mulai mengerti arti kehidupan, aku sadar kalau Inner Child itu ada yang positif dan negatif. Tapi, kenapa orang selalu mengingat yang negatifnya saja? Bukan kah yang positif juga ada? Aku pun membalikkan memoriku agar mengingat yang baik dan mengubru inner child yang tidak baik.
Dari sikap keras bokap, tentu ada maksud baiknya. Terbukti, hingga kini, berkat didikan masa kecil, aku menjadi sosok yang disiplin, selalu on time kalau janjian, pembersih (karena bokap tidak suka melihat sesuatu yang kotor dan jorok). Juga aku menjadi sosok yang pemberani untuk mengungkapkan kebenaran.
Dan, perlakukan negatif  dari bokap bisa aku kubur dalam-dalam. Aku berdamai dengan masa laluku. Meski inner child terus mengikuti dalam hidup kita, tapi jangan sampai inner child yang negatif yang mengontrol hidup kita. Maka kita akan tumbuh menjadi orang yang selalu menyalahkan masa lalu. Bukan belajar dari masa lalu.
Mengerti inner child dapat membantu kita memahami mengapa kita berperilaku atau merasa seperti yang kita lakukan, serta bagaimana kita dapat mengatasi masalah yang terkait dengan masa lalu.
Berdasarkan Pengalaman Inner Child Yang aku alami, ada beberapa Langkah yang aku lakukan tentang Inner Child.
- Berdamai dengan masa lalu. Apa pun itu, baik atau buruk berdamai dengan masa lalu.
- Berdamai dengan diri sendiri. Ketika ada luka, sakit hati, benci, dendam akan masa lalu, hal utama yang kita lakukan adalah berdamai dengan diri sendiri. Bisa nggak kita memaafkan masa lalu kita?
- Jangan jadikan Inner child untuk balasd dendam terhadap keturunan kita. Anak-anak kita. Jangan ya, dik...
- Ambil sisi positif dari segala kenangan masa kecil kita. Pasti bisa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI