Beberapa waktu lalu, saya pernah membahas tentang dunia per-lari-an dan komunitas. Ketika saya nge-share link tersebut ke wa, langsung banyak yang mengomentari dari sudut pandang pro dan kontra. Sebagai penulis yang menulis berdasarkan fakta dan pengalaman yang saya lihat di lapangan tentu menerima setiap komentar pro kontra tersebut. Diantaranya banyak yang beranggapan kalau mereka mau beli perlengkapan untuk lari dengan harga yang "edan", kenapa? Tidak ada yang dirugikan. Trus ada yang berkomentar, "dunia lari dan komunitasnya bikin tabungan terkuras habis." Dan masih banyak lah komentarnya.
Masih membahas dunia lari, dimana saya juga semakin menekuni dunia tersebut dikarenakan saya sudah menyukai dunia berlari tersebut, saya semakin menemukan kesenjangan didunia lari tersebut berdasarkan outfit yang dipakai. Semakin menter penampilanmu maka tingkat kepercayaan diri kamu pun meningkat drahtis . ajang flexing terselubung pun bergelora. Seakan terjadi lomba adu paling kalcer di komunitas. Tidak hanya disatu komunitas melainkan hampir disemuanya. Seakan ada tagline terselubung yang mengharuskan kalau lo mau masuk komunitas penampilan lo harus menter. Terbukti, saya pun sempat hampir tergiring kearah sana. Ingin terlihat menter langsung mencari outfit yang lagi hits dikalangan pelari. Untungnya, saya sadar diri kalau tujuan saya berlari yak arena ingin sehat juga bener-bener ingin berolahraga. Bukan untuk gaya-gayaan. Buat apa saya harus memiliki sepatu menumpuk padahal semua masih layak dipakai dan bisa masuk dalam kategori "gress".
Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak pernah terbawa arus Flexing juga persaingan terselubung di dunia komunitas Lari (bahkan katanya hampir disemua komunitas)
Sejujurnya, saya lebih menikmati berlari seorang diri. Saya bisa fokus berlari dengan program yang saya buat. Jika lari beramai-ramai atau bersama komunitas kebayakan gagal dalam menjalankan program. Misalkan pada hari Minggu, saya memprogramkan long run atau berlari sejauh 12K atau 15 K. Tapi, karena bersama teman-teman, baru berlari 5K, eh mereka sudah berhenti ngajak kulineran mencari bubur ayam atau kudapan yang bertebaran di pagi hari. Sementara, biasanya kalau pagi hari saat berlari atau usai berlari, saya jarang langsung makan berat. Biasanya sekedar minum air putih atau makan buah. Menjelang siang hari baru makan berat alias makan komplit.
Meski saya tergabung di beberapa komunitas di Jakarta dan Karawang, tapi kepentingan saya dalam komunitas tersebut hanya sekedar berlari beramai-ramai sesekali. Mengikuti program latihan yang ada di komunitas tersebut untuk memperkaya ilmu berlari saya. namun, saya tidak rutin ikut latihan. Saya juga tidak terlalu akrab dengan orang-orang yang ada di komunitas tersebut. Sekedar kenal dan berteman but not best friends. Mungkin karena introvert, saya tidak mudah akrab dengan orang dan lebih nyaman sendiri. Â
Banyak sisi negatif yang saya lihat dari orang-orang yang tergabung dalam komunitas.ini dari sudut pandang saya,ya. Bukan dari kacamata orang banyak. Karena, terkadang perspektif yang berbeda suka disalah artikan oleh orang lain. Khususnya para pelari.
Saya melihat di dunia lari itu tidak semata-mata  hanya untuk berlari. Apalagi di eras sekarang ini. Jika kamu tergabung dalam komunitas dan mengagung-agungkan orang-orang yang ada di dalam dalam komunitasmu tersebut karena kamu melihat penampilan mereka yang keren dan kalcer. Kalau tidak kuat iman, maka, kamu pun ingin terlihat seperti mereka dari segi penampilan.  berapa pun isi tabunganmu bakalan habis terkuras untuk memenuhi hasrat membeli barang-barang yang sering dipakai pelari dengan brand-brand kekinian. Jiwa flexingmu seakan bergelora untuk ingin memiliki yang baru dan bisa di flexing dipertemuan mingguannya.
Setiap kali ada agenda lari bersama dengan komunitas (khususnya yang di Jakarta), sepertinya lari bersama itu menjadi ajang flexing bagi para pelari. Head to toe harus terlihat kalcel, mentereng dengan brand-brand yang dianggap "IT". Â Bahkan, ada pelari, meski berlari masih di pace keong, tapi sudah memakai sepatu yang diperuntukkan untuk pelari podium alias pelari kencang. Â Pakai sepatu seri terbaru dari brand-brand yang merajai dunia lari yang sudah Carbon Plate. Jika ditegur jawabannya langsung nyolot,"Suka-suka gue dong. Uang-uang gue, kaki-kaki gue, kenapa elo yang sewot." Padahal sebelum membeli, kita juga perlu tahu fungsi dan kegunaan sepatu tersebut. Layak atau tidak kita memakainya. Karena banyak yang salah beli akhirnya kaki lecet dan cidera. Ya, iyalah misalkan elo biasa makan mobil Avanza tapi langsung beli Ferarri yang mati dong. Â Â
Ada juga teman pelari yang bela-belain makan seadannya demi ngumpulin duit beli sepatu dengan harga 4 jutaan plus jersey seharga 1,5 juta per pieces. Untuk berlari bisa menggelontorkan dana belasan juta demi sebuah penampilan. Sepatu 4 jutaan, jersey 1,5 juta, celana lari 1 juta, kaos kaki 800 ribu, kacamata 600 ribu, jam tangan 7 juta, Â dan masih banyak printilan lainnya. Padahal, kalau dilihat di lemari pakaiannya, masih menumpuk perlengkapan lari yang masih sangat layak disebut gress alias baru. Semua itu dilakukannya karena tidak mau kalah dengan pelari-pelari lain yang ada di komunitas memakai jersey dan sepatu terbaru. HAsrat untuk flexing begitu menggelora demia sebua pujian dan sanjungan meski isi tabungan terkuras setiap bulannya.
Sebenarnya masih banyak drama-drama yang terjadi di dunia flexing para pelari. Apalagi flexing mereka di dukung dengan banyaknya fotografer-fotografer yang bermunculan disetiap sudut rute berlari yang dilintasi saat Car free day berlangsung. Kehadiran fotografer itu sangat diharapkan para pelari agar mereka bisa difoto bagus dengan gaya yang bagus saat memakai barang-barang baru nan branded tersebut. Tentunya hasil foto sang fotografer langsung di posting secepat mungkin di sosmed sambil menyebutkan item-item yang dipakai beserta harganya. Hmmm...
Sejujurnya, begitu banyak pelari yang bukan atlet lari melainkan sekedar hobi lari  tapi outfit yang dipakai melebih atlet yang sudah menorehkan prestasi. Saya sangat setuju apa yang dikatakan Melanie Putria, mantan Putri Indonesia yang juga penggiat lari yang sudah menuntaskan Six World Marathon Major (WMM).
"Trend itu selalu ada dan tidak akan pernah ada habisnya. Mau sampai kapan mengikuti trend? Jangan sampai jadi korban trend."
Benar juga sih. Mau sampai kapan menjadi budak trend? Setiap apa yang lagi trend di dunia lari kamu langsung ingin memiliki meski sebenarnya tidak butuh-butuh amat. Hanya gara-gara takut dibilang ketinggalan trend, akhirnya mengorbankan diri.
Yuk, menjadi pelari yang smart. Harus bisa melihat mana kebutuhan dan mana keinginan. Kalau kebutuhan pasti kita membutuhkannya sehingga harus memilikinya. Tapi, keinginan biasanya hanya karena lapar mata untuk memilikinya. Padahal hanya ingin terlihat kalcer meski sejujurnya tidak butuh-butuh amat.
Berlari itu hobi yang menyenangkan. Jangan sampai menjadi hobi yang menyengsarakan. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H