Anehnya, ketika saya mengerjakan semua itu justru tidak ada beban. Tapi, ketika ada yang mengotak-atik benda-benda tersebut, baru deh saya bisa bertanduk alias marah.
Hal yang paling parah ketika saya sudah menikah. Istri yang awalnya menganggap saya orang yang pembersih dan rapi ternyata setelah menjadi pasangan suami istri, dia kewalahan menghadapi saya yang suka marah-marah jika melihat sesuatu yang tidak rapi juga ketika dia meletakkan sesuatu benda sembarangan.Â
Bisanya sambil marah-marah saya menata barang tersebut dengan posisi yang sangat rapi. Sejajar. Sampai akhirnya istri hampir give up menghadapi sifat saya yang katanya terlalu perfeksionis. Padahal itu bukan perfeksionis melainkan OCD.
Rumah tangga kami pun sempat hampir karam gara-gara sering ribut hanya gara-gara masalah tersebut.
Sebelum semua itu terjadi dan rumah tangga karam, saya banyak berdiskusi dengan keluarga juga teman yang berkompeten mengatasi masalah yang saya hadapi. Saya menghubungi teman seorang psikiater.Â
Saya menceritakan semua yang saya alami dan dia mencoba memberi saran juga beberapa hal yang harus saya lakukan. Salah satunya mengontrol agar saya bisa mengurangi kebiasaan-kebiasaan tersebut. Sangat berat dan butuh waktu yang sangat lama.
And, thanks God! Akhirnya perlahan tapi pasti saya bisa mengurangi OCD yang ada pada diri saya. Meski tidak bisa 100 persen hilang. Terkadang ketika muncul keinginan untuk beberes-beres saya tahan untuk tidak melakukannya hingga berulang-ulang.Â
Dan tingkat toleransi saya akan perbedaan sifat (terutama soal OCD) dengan istri pun sedikit demi sedikit bisa diredam. Tapi terkadang masih bisa kumat juga, lho.
Hingga kini, sudah puluhan tahun saya mengalami OCD meski kalau diukur tingkat kadarnya sudah sangat jauh banyak berkurang. Semua butuh proses yang tidak instan.
Jadi intinya, OCD memang berhubungan dengan kejiwaan. Kalau ada yang bilang OCD bagian dari sakit jiwa ya bisa jadi tapi bukan berarti OCD di sini saya gila, ya. Melainkan OCD memang ada kaitannya dengan kejiwaan.