In life, nothing is permanent.
Betul sekali, dalam hidup ini tidak ada yang permanen. Kebahagiaan, kesedihan, kekayaan, kemiskinan/kesusahan. Semuanya sifatnya sementara. Ibarat musim, semua aka nada masanya. Begitulah kira-kira kehidupan yang dialami teman gue juga gue dan juga kamu-kamu yang membaca tulisan ini. Apa pun yang tengah kamu hadapi, kamu rasakan saat ini semuanya akan ada masanya.
Sejak bokap teman gue meniggal, hidup mereka seakan berubah 180 drajat. Hidup yang dulu serba ada, serba berkecukupan kini berubah menjadi serba pas-pasan, bahkan nyaris kekurangan. Hidup foya-foya yang diterapkan nyokapnya dalam membesarkan anak-anaknya sangat berdampak buruk pada perkembangan mereka. Mereka tidak bisa mengontrol pengeluaran sampai akhirnya harta yang dulu berlimpah bisa ludes. Oleh karena itu, jangan pernah percaya dengan pepatah,"Harta tujuh turunan" Kita tidak bisa menjamin kekayaan yang dimiliki pengusaha saat Berjaya akan bisa menghidupi anak cucunya hingga tujuh turunan kelak. Belum tentu! Semua tergantung, bagaimana cara mengelola keuangannya. Â
Memiliki orangtua yang kaya raya tidak menjamin kalau kehidupannya bisa selamanya akan bergelimangan harta. Semua balik lagi ke gaya hidup dan didikan orangtua soal penggunaan uang. Jika uang dikucurkan terus menerus tanpa ada kontrolnya juga lama-lama akan habis. Ibarat air setiap hari krannya dibuka pasti air akan habis. Ibarat bukit lama-lama digali juga akan rata. Begitu dengan dengan harta. Sebanyak apa pun harta yang dimiliki jika tidak dikelola dengan baik maka akan habis juga.
       "Sejak papa meninggal, kehidupan kami benar-benar hilang kendali." Cerita teman gue. "Mama yang tidak bisa mengelola keuangan dan ditambah lagi gue dan adik sama-sama tidak bisa mengontrol jiwa hedon. Akhirnya, harta yang ditinggalkan papa pun lama-lama bisa ludes." Lanjutnya.
Gue faham betul bagaimana kehidupan mereka yang begitu hedon dan suka menghambur-hamburkan uang. Akhirnya, apa yang pernah gue khawatirkan menjadi kenyataan. Mamanya yang memang suka jor-joran menggunakan uang, kini harus banting tulang cari uang. Memang, yang namanya penyesalan selalu datang belakangan. Â Â Â Â Â
       Ibarat roda kehidupan, kini, teman gue seakan memulai hidup dari bawah lagi. Dulu, jangankan makan dipinggir jalan. Kini, mencoba berjualan ala jajanan ala kaki lima. "Gue harus bisa survive. Nggak ada yang bisa membantu ketika kita dalam kesusahan. Semua yang dulu dekat dengan kami seakan lenyap seketika."
Meski demikian, gue justru salut dan bangga melihat kegigihan teman gue. Dia sadar akan apa yang telah mereka lakukan dimasa-masa kejayaan mereka. Saat ini, dia, mama dan adiknya sama-sama berjuang untuk bisa bangkit. Menebus "dosa-dosa" yang pernah mereka perbuat.
       "Gue nggak gengsi kok berjualan. Gue malah pengen mengaplikasikan ilmu yang gue ecap saat kuliah dulu." Jelasnya. "Mungkin selama ini gue piker ilmu yang gue pelajari tidak bermanfaat. Ternyata sekarang lah manfaatnya kelihatan," lanjutnya yang sempat mengecap pendidikan di luar negeri jurusan masak memasak.
       Tidak terasahari beranjak senja. Mungkin ada 6 jam kami ngobrol panjang kali lebar. Membahas apa saja yang selama ini terpendam dalam pikiran sahabat gue. 6 jam pun masih kurang. Gue berjanji akan datang kembali untuk melanjutkan obrolan serta rencana-rencana selanjutnya yang berhubungan dengan kreativitas.
       "Bener,ya. Janji lo akan datang lagi," ancamnya.
       "Janji! I'm promise!" ucapku sambil mengacung dua jari tanda promise.
       "Gue tunggu."
       Gue meninggalkan apartemennya dengan sebongkah cerita yang saying kalau tidak gue tumpahkan ke dalam blog ini. Sebagai pembelajaran kalau dalam hidup ini tidak ada yang abadi. Termasuk kebahagiaan juga kesedihan. Semua ada masanya. Siap tidak siap, kita harus siap. Jika ingin yang abadi, maka kematianlah yang abadi.   Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H